Kamis, 28 Juni 2012
Senin, 25 Juni 2012
cara pemotongan hewan ..
Pada proses pemotongan ternak di Indonesia harus benar-benar memperhatikan hukum-hukum agama Islam, karena ada kewajiban menjaga ketentraman batin masyarakat. Pada pelaksanaannya ada 2 cara yang digunakan di Indonesia, yaitu :
3.1. Tanpa “Pemingsanan”
Ada beberapa cara pemingsanan, yaitu :
b. Voltase tinggi, dengan tegangan 200 sampai 400 volt selama 2 detik.
a. Biaya murah.
b. Mudah dikerjakan.
c. Aman bagi yang melakukan.
d. Tidak menimbulkan rasa sakit dan siksaann pada ternak.
e. Tidak menimbulkan kematian pada terak.
f. Tidak mempengaruhi kualitas karkas.
g. Tidak membahayakan bila daging dikonsumsi.
h. Harus efektif dan kerjanya cepat.
i. Harus bisa digunakan untuk macam-macam ternak.

Gambar 2. Cara Pemingsanan Ternak dengan Penembakan menggunakan Pen
3.4. Cara Pemotongan
a. Warna daging.
b. Kenaikan temperatur urat daging.
c. pH urat daging (setelah ternak mati).
d. Kecepatan daging membusuk.

Gambar 3. Alat Pemotong Ternak Sapi Otomatis dan Modern
3.5. Pengulitan
Peneliti-peneliti daging telah menemukan bahwa cara menggantung karkas juga berpengaruh terhadap keempukan beberapa macam otot (Gambar 2).

Gambar 4.
A. Menggantung Karkas pada Tendon-achilles.
B. Menggantung Karkas pada Abdurator-foramen
PEMERIKSAAN POSTMORTEM (SETELAH MATI)
2. Melindungi konsumen dari pemalsuan daging.
Kelengkapan pemeriksaan postmortem tergantung pada :
1. Tersedianya petugas yang akhli.
2. Adanya fasilitas yang memadai untuk melaksanakan pemeriksaan postmortem.
4.1.1. Pencahayaan Ruang Pemeriksaan
Pemeriksaan umum yang harus dilakukan pada karkas adalah :
1. Adanya memar, perdarahan atau perubahan warna pada karkas/daging.
Pemeriksaan yang lebih teliti harus dilakukan pada :
1. Bagian kepala, yang diperiksa adalah :
a. Lidah.
b. Rahang dan langit-langit.
c. Kelenjar getah bening.
d. Otot pipi.
2. Bagian perut, yang diperiksa adalah :
a. Lambung, usus halus dan lympha.
b. Hati.
c. Ginjal.
d. Uterus (padda betina).
3. Bagian dada, yang harus diperiksa adalah :
a. Paru-paru.
b. Jantung.
Selain itu juga harus diperiksa pada kelenjar susu, testis dan penis.
3.1. Tanpa “Pemingsanan”
Cara ini banyak dilakukan di Rumah-rumah Potong tradisional. Penyembelihan dengan cara ini ternak direbahkan secara paksa denganmenggunakkan tali temali yang diikatkan pada kaki-kaki ternak yangdihubungkan dengan ring-ring besi yang tertanam pada lantai Rumah Potong, dengan menarik tali-tali ini ternak akan rebah. Pada penyembelihandengan sistem ini diperlukan waktu kurang lebih 3 menit untuk mengikat dan merobohkan ternak. Pada saat ternak roboh akan menimbulkan rasa sakit karena ternak masih dalam keadaan sadar.
3.2. Dengan PemingsananDi Rumah Potong Hewan yang besar dan modern, sebelum ternak dipotong terlebih dahulu dilakukan “pemingsanan”, maksudnya agar ternak tidak menderita dan aman bagi yang memotong.
3.3. Proses PemingsananAda beberapa cara pemingsanan, yaitu :
1. Pemingsanan dengan cara memukulkan palu yang terbuat dari kayu keras pada bagian atas dahi, sehingga ternak jatuh dan tidak sadar.
2. Pemingsanan dilakukan dengan menggunakan “senapan” yang mempunyai “pen”. Pen ini akan menembus tempurung kepala ternak dan mengenai otak, sehingga ternak pingsan dan roboh.
3. Pemingsanan dilakukan dengan menggunakan sengatan listrik. Ada 2 metoda pemingsanan yang digunakan bila menggunakan sengatan listrik, yaitu :
a. Voltase rendah, dengan menggunakan arus bolak-balik pada frekwensi 50 cycles/menit, tegangan 75 Volt, kuat arus 250 mA selama 10 detik.b. Voltase tinggi, dengan tegangan 200 sampai 400 volt selama 2 detik.
4. Penggunaan Chemical Narcosis, umumnya dilakukan pada babi. Babi yang akan dibius dimasukkan pada ban berjalan kemudian dibawa kedalam terowongan yang telah diisi oleh CO2 sebanyak 60-65%, tahan ternak dalam terowongan selama 1 menit. Umumnya babi akan sudah pingsan setelah 15 detik.
Hal-hal yang perlu diperhatikkan pada saat melakukan pemingsanan, adalah :a. Biaya murah.
b. Mudah dikerjakan.
c. Aman bagi yang melakukan.
d. Tidak menimbulkan rasa sakit dan siksaann pada ternak.
e. Tidak menimbulkan kematian pada terak.
f. Tidak mempengaruhi kualitas karkas.
g. Tidak membahayakan bila daging dikonsumsi.
h. Harus efektif dan kerjanya cepat.
i. Harus bisa digunakan untuk macam-macam ternak.
Gambar 2. Cara Pemingsanan Ternak dengan Penembakan menggunakan Pen
3.4. Cara Pemotongan
Pemotongan dilakukan pada ternak dalam keadaan posisi rebah, kepalanya diarahkan ke arah kiblat dan dengan menyebut nama Allah, ternak tersebut dipotong dengan menggunakan pisau yang tajam. Pemotongan dilakukan pada leher bagian bawah, sehingga tenggorokan, vena yugularis dan arteri carotis terpotong. Menurut Ressang (1962) hewan yang dipotong baru dianggap mati bila pergerakan-pergerakan anggota tubuhnya dan lain-lain bagian berhenti. Oleh karena itu setelah ternak tidak bergerak lagi leher dipotong dan kepala dipi-sahkan dari badan pada sendi Occipitoatlantis. Pada pemotongan tradisional, pemotongan dilakukan pada ternak yang masih sadar dan dengan cara seperti ini tidak selalu efektif untuk menimbulkan kematian dengan cepat, karena kematian baru terjadi setelah 3-4 menit. Dalam waktu tersebut merupakan penderitaan bagi ternak, dan tidak jarang ditemukan kasus bahwa dalam waktu tersebut ternak berontak dan bangkit setelah disembelih. Oleh karena itu pengikatan harus benarbenar baik dan kuat. Cara penyem-belihan seperti ini dianggap kurang berperikemanusiaan.Waktu yang diperlukan secara keseluruhan lebih lama dibandingkan dengan cara pemotongan yang meng-gunakan pemingsanan.
Pada saat pemotongan diusahakan agar darah secepatnya dan sebanyakbanyaknya keluar serta tidak terlalu banyak meronta, karena hal ini akan ada hubungannya dengan :a. Warna daging.
b. Kenaikan temperatur urat daging.
c. pH urat daging (setelah ternak mati).
d. Kecepatan daging membusuk.
Agar darah cepat keluar dan banyak, setelah ternak disembelih, kedua kaki belakang pada sendi tarsus dikait dengan suatu kaitan dan dikerek ke atas sehingga bagian leher ada di bawah. Keadaan seperti ini memungkinkan darah yang ada pada tubuh ternak akan mengalir menuju ke bagian bawah yang akhirnya keluar dari tubuh.
Gambar 3. Alat Pemotong Ternak Sapi Otomatis dan Modern
3.5. Pengulitan
Setelah tetesan darah tidak mengalir, selanjutnya dilakukan pengulitan. Pengulitan dilakukan dengan menggunakan pisau yang bentuknya khusus agar pada saat pengulitan tidak banyak kulit ataupun daging yang rusak.
3.6. Pengeluaran JeroanSetelah pengulitan selesai dilakukan, organ dalam yaitu isi rongga dada dan rongga perut dikeluarkan. Pada saat pengeluaran isi rongga perut harus dijaga agar isi saluran pencernaan dan kantong kemih tidak mencemari karkas. Selanjutnya isi rongga dada dan rongga perut ini dibawa ke tempat yang terpisah untuk dibersihkan.
3.7. Pembelahan KarkasSetelah isi rongga dada dan rongga perut dikeluarkan, karkas dibagi menjadi dua bagian yaitu belahan kiri dan kanan. Pembelahan dilakukan sepanjang tulang belakang dengan menggunakan kapak yang tajam. Di Rumah Potong yang modern sudah ada yang menggunakan “Automatic Cattle Splitter”. Setelah karkas dibelah dua, bila akan dijual di pasar-pasar tradisional untuk konsumsi segar, maka karkas akan dipotong menjadi 2 bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Pemotongan dilakukan antara tulang rusuk ke 12 dan ke 13. Perlakuan pemotongan seperti ini karkas menjadi 4 potongan, masing-masing dinamakan “Quarter” atau “Perempat”, sehingga akan didapat “Perempat belakang” (Hind-quarter) dan “Perempat depan” (Forequarter).Untuk dijual di pasar swalayan atau konsumsi hotel-hotel berbintang biasanya dilakukan pelayuan terlebih dahulu, dan pada saat pelayuan karkas dalam keadaan tergantung.
3.8. Menggantung KarkasPeneliti-peneliti daging telah menemukan bahwa cara menggantung karkas juga berpengaruh terhadap keempukan beberapa macam otot (Gambar 2).
a. Bila karkas digantung pada “tendon achilles” (Gambar 2.A) otot “psoas mayor” (fillet) yang harganya mahal akan lebih panjang 50% dibandingkan dengan yang normal dan selama rigormortis otot ini tidak berkontraksi sehingga akan lebih empuk. Namun menggantung dengan cara ini beberapa otot lainnya di bagian “proximal hind limb” (kaki belakang bagian atas) akan berkontraksi dibawah normal (lebih pendek) selama rigormortis sehingga otot-otot ini akan lebih keras dari biasanya.
b. Menggantung karkas pada “abdurator foramen” (“aitch bone”) (Gambar 2.B) akan membatasi kontraksi dari beberapa otot penting diantaranya adalah “semimembranosus” (round), “glutaeus medius” (sirloin), “longissimus dorsi” (loin). Dengan menggantung karkas seperti ini “hind limb” (kaki belakang) akan turun dan tulang belakang akan lurus, hasilnya otot pada “hind limb” dan sepanjang sisi luar tulang belakang akan memanjang.
Gambar 4.
A. Menggantung Karkas pada Tendon-achilles.
B. Menggantung Karkas pada Abdurator-foramen
PEMERIKSAAN POSTMORTEM (SETELAH MATI)
Seperti halnya pemeriksaan sebelum ternak dipotong (antemortem), maka setelah ternak dipotongpun perlu ada pemeriksaan yang biasa disebut “pemeriksaan post-mortem”. Maksud diadakannya pemeriksaan postmortem adalah :
1. Melindungi konsumen dari penyakit yang dapat ditimbulkan karena makan daging yang tidak sehat.2. Melindungi konsumen dari pemalsuan daging.
Kelengkapan pemeriksaan postmortem tergantung pada :
1. Tersedianya petugas yang akhli.
2. Adanya fasilitas yang memadai untuk melaksanakan pemeriksaan postmortem.
3. Tersedianya fasilitas laboratorium di rumah potong hewan, untuk pemeriksaan bakteriologi, parasitologi dan biokimia bila ada bahan yang dicurigai.
Bila pada tahap awal pemeriksaan ditemukan hal yang mencurigakan maka pemeriksaan harus dilakukan dengan lebih teliti di laboratorium yang lebih lengkap dengan tenaga ahli laboratorium diagnostik.
4.1. Pencahayaan dan Waktu Pemeriksaan Post-mortem.4.1.1. Pencahayaan Ruang Pemeriksaan
Pada saat dilakukan pemeriksaan harus tersedia ruangan yang cukup untuk memeriksa karkas maupun non-karkas (offal) disertai penerangan yang memadai. Perdarahan yang tidak sempurna, daging yang kekuning-kuningan, daging yang kehijau-hijauan atau lemak yang tercemar bakteri dan perubahan-perubahan lain, mungkin tidak bisa terditeksi bila cahaya di dalam ruangan pemeriksaan kurang baik meskipun tersedia aliran listrik namun cahaya matahari jauh lebih baik.
4.1.2. Waktu Pemeriksaan PostmortemWaktu pemeriksaan postmortem sebaiknya dilaksanakan segera setelah ternak dipotong. Pada banyak kasus, bila fasilitas penyimpanan karkas atau daging tidak tersedia dan fasilitas lain yang mengharuskan daging dijual segar, maka keharusan pemeriksaan yang segera ini tidak menjadi masalah.
Meskipun dirumah potong itu tersedia fasilitas untuk pengolahan jeroan dan non-karkas lainnya dan juga tersedia fasilitas ruang pendingin, namun pemeriksaan postmortem terbaik adalah pada karkas segar dari ternak yang baru dipotong.
4.2. Pemeriksaan Umum Pada KarkasPemeriksaan umum yang harus dilakukan pada karkas adalah :
1. Adanya memar, perdarahan atau perubahan warna pada karkas/daging.
Bila ternak pernah mengalami trauma sewaktu dalam perjalanan seperti terinjak-injak, dipukuli atau terjatuh maka akibatnya dapat dilihat pada permukaan karkas setelah dikuliti. Daging yang memar akan mencemari daging disekitarnya. Hal ini bisa terjadi sebab serum dari daging yang memar akan merembes pada daging disekitarnya karena itu daging seperti ini harus segera dipisahkan dari karkas. Daging yang memar akan cepat busuk, oleh karena itu harus secepatnya dijual.
2. Pembengkakan.Adanya pembengkakan pada karkas baik lokal maupun menyeluruh sangat tidak disukai. Hal ini terjadi karena ternak terserang penyakit Helminthiasis, Trypanosomyasis dan penyakit yang ditularkan caplak. Adanya pembengkakan pada karkas akan menurunkan harga karkas.
3. Warna karkas/daging.Karkas atau daging yang berwarna gelap atau kehitam-hitaman, umumnya disebabkan karena pengeluaran darah pada saat pemotongan tidak sempurna.
4. Bau yang abnormal.Bila bau daging sudah menyimpang dari normal, ini berarti sudah ada bagian daging yang busuk. Daging yang sudah busuk harus dikeluarkan/dipotong dari karkas dan tidak dijual.
4.3. Pemeriksaan Lanjutan.Pemeriksaan yang lebih teliti harus dilakukan pada :
1. Bagian kepala, yang diperiksa adalah :
a. Lidah.
b. Rahang dan langit-langit.
c. Kelenjar getah bening.
d. Otot pipi.
2. Bagian perut, yang diperiksa adalah :
a. Lambung, usus halus dan lympha.
b. Hati.
c. Ginjal.
d. Uterus (padda betina).
3. Bagian dada, yang harus diperiksa adalah :
a. Paru-paru.
b. Jantung.
Selain itu juga harus diperiksa pada kelenjar susu, testis dan penis.
Pemotongan Ternak Di RPH 1
Istilah-Istilah :
Epizootica : Penyakit yang dapat menular pada manusia atau sebaliknya.
Marbling : Penyebaran butir-butir lemak diantara serat daging. Disebut juga kepualaman.
Offal : Organ sisa karkas (non-karkas)
Pen : Semacam peluru untuk menembak kepala ternak agar pingsan sebelum ternak tersebut dipotong.
Post-mortem : Masa dimana ternak telah selesai dipotong.
IDENTIFIKASI TERNAK SIAP POTONG
2. Pengaruh kelamin.
3. Perdagingan.
4. Derajat kegemukan.
5. Persentase karkas.
1. Umur dan Berat

4. Derajat Kegemukan (Finish)
2.1. Syarat Ternak yang akan dipotong dan Kebersihan Tempat Penampungan di RPH.
2. Betina tersebut mendapat kecelakaan.
3. Betina itu terkena penyakit yang bisa menimbulkan kematian. (misalnya penyakit kembung perut).
4. Betina tersebut dapat membahayakan manusia.
5. Menurut peraturan yang dibuat harus disembelih (umumnya dalam rangka memberantas penyakit).
Pada pemeriksaan ante-mortem, hal-hal yang perlu dilakukan adalah :
10. Kondisi tubuh hewan apakah gemuk, kurus atau sedang. Kondisi hewan yang kurus bisa disebabkan oleh berbagai faktor dan diantaranya oleh penyakit.
Pada saat melakukan ante-mortem ternak harus diobservasi pada saat ternak istirahat. Ternak-ternak yang berbaring memisahkan diri dari kelompoknya harus dicurigai, karena ternak yang sakit cenderung memisahkan diri dari kelompoknya, kejadian ini tidak akan terjadi bila ternak tidak sedang dalam keadaan istirahat. Keadaan seperti ini penting untuk diperhatikan karena merupakan adanya indikasi yang tidak berjalan normal pada ternak tersebut.
2.3. Cara menditeksi ternak yang tidak sehat.
1. Sisi sebelah kiri.
2. Sisi sebelah kanan.
3. Bagian depan dan kepala.
4. Bagian belakang (kaki dan anus).
By zoel • Posted in Masalah Peternakan • Tagged RPH
Ante-mortem : Masa dimana ternak sebelum dipotong
Automatic Cattle Splitter: Gergaji atau pisau otomatis untuk membelah atau memotong karkasEpizootica : Penyakit yang dapat menular pada manusia atau sebaliknya.
Marbling : Penyebaran butir-butir lemak diantara serat daging. Disebut juga kepualaman.
Offal : Organ sisa karkas (non-karkas)
Pen : Semacam peluru untuk menembak kepala ternak agar pingsan sebelum ternak tersebut dipotong.
Post-mortem : Masa dimana ternak telah selesai dipotong.
IDENTIFIKASI TERNAK SIAP POTONG
Penentuan harga pada saat jual beli ternak siap potong, umumnya didasarkan pada taksiran pada saat ternak masih hidup, meskipun dibeberapa tempat terutama ternak besar, penentuan harga ditentukan oleh berat karkas yang dihasilkan oleh ternak yang bersangkutan. Bila harga ternak hidup ditentukan berdasarkan penaksiran, maka pembeli harus sudah bisa memperkirakan berapa banyak karkas yang akan didapat, berapa nilai dari hasil ikutan seperti kulit, jeroan dan sisa karkas lainnya.
Penampilan ternak saat hidup mencerminkan produksi dan kualitas karkasnya. Ketepatan penaksir dalam menaksir nilai ternak tergantung pada pengetahuan penaksir dan kemampuan menterjemahkan keadaan dari ternak itu. Keadaan ternak yang perlu mendapat perhatian pada saat menaksir pro-duktivitas ternak adalah :
1. Umur dan berat.2. Pengaruh kelamin.
3. Perdagingan.
4. Derajat kegemukan.
5. Persentase karkas.
1. Umur dan Berat
Umumnya daging yang berasal dari sapi tua akan lebih liat dibandingkan dengan daging yang berasal dari sapi muda. Hasil penelitianpun menunjukkan bahwa umur potong sapi berkorelasi positif dengan keempukan daging yang dihasilkannya, artinya makin tua ternak sudah dapat dipastikan dagingnya akan lebih liat. Daging yang berasal dari sapi tua baunya lebih menyengat dibandingkan dengan daging yang berasal dari sapi muda. Namun pada kenyataannya, kuat lemahnya bau daging pada sapi tidak dipermasalahkan konsumen, lain halnya dengan daging domba dan daging kambing, karena ke 2 ternak kecil ini bau dagingnya sangat unik dan lebih kuat dibandingkan dengan sapi. Oleh karena itu konsumen daging domba atau kambing lebih menyukai daging yang berasal dari ternak muda. Ternak sapi tua yang gemuk akan menghasilkan daging yang berlemak oleh karena itu rasanya akan lebih gurih dan banyak disukai konsumen. Selain itu da-ging yang berlemak kandungan airnya lebih sedikit sehingga pada saat dimasak penyusutannya tidak terlalu besar.
2. Pengaruh KelaminSapi dara siap potong umumnya lebih murah dibandingkan dengan sapi jantan kebiri, hal ini disebabkan karena persentase karkas sapi dara akan lebih rendah dibandingkan dengan sapi jantan kebiri. Selain itu pada umur yang sama dengan kondisi pemeliharaan yang sama, sapi dara akan sedikit lebih gemuk dibandingkan dengan jantan sehingga akan lebih banyak lemak yang dibuang untuk menghasilkan daging tanpa lemak. Harga sapi jantan muda setiap kilogram hidup umumnya akan lebih murah dibandingkan dengan sapi jantan kebiri, hal ini disebabkkan kualitas daging dari sapi jantan lebih rendah dibandingkan dengan daging dari sapi jantan kebiri pada umur yang sama. Namun produksi dagingnya akan lebih tinggi baik dibandingkan dengan produksi sapi jantan kebiri atau sapi dara.
3. Perdagingan
Tujuan akhir produksi ternak daging adalah menghasilkan karkas yang pro-porsi dan kualitas dagingnya prima, yaitu yang kandungan lemaknya disela-sela urat daging termasuk “moderat”, namun demikian tidak dapat dihindari adanya lemak yang berlebih diantara otot-otot, dan keadaan seperti ini tidak disukai oleh konsumen. Pada karkas ada 3 komponen utama, yaitu : daging, lemak dan tulang. Bila pada suatu karkas kandungan dagingnya tinggi maka kandungan tulang dan atau kandungan lemaknya akan lebih rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kandungan daging dengan tulang, namun hubungannya tidak begitu kuat. Artinya bila proporsi daging tinggi maka proporsi tulangnya akan lebih tinggi dan proporsi lemaknya akan relatif lebih kecil. Daging dari ternak yang tidak berlemak/tidak gemuk dapat dilihat terutama pada saat ternak berjalan. Pergerakan otot/daging akan jelas terlihat karena tidak terhalangi oleh tebalnya lapisan lemak. Pada bagian perempat belakang dan daerah iga, yang dagingnya biasa dibuat “steak”, adalah yang paling berharga diantara semua bagian karkas. Pada Gambar 1 memperlihatkan bagian-bagian tubuh ternak yang berkaitan dengan kualitas daging. Pada Gambar 1 dapat dilihat bagian tubuh ternak yang diwarnai dengan warna yang lebih gelap menunjukan kualitas daging yang lebih baik. Bagian-bagian yang ditandai dengan warna yang lebih gelap, normalnya akan lebih empuk hal ini disebabkan bagian tersebut sebagian besar strukturnya daging dan tidak banyak digunakan untuk bergerak. Bagian perempat belakang ini pada umumnya dijual lebih mahal dibandingkan dengan bagian depan.
Gambar 1. Bagian-bagian tubuh pada ternak sapi, domba dan babi. Bagian yang berwarna lebih gelap menunjukan yang kualitas daging paling baik.4. Derajat Kegemukan (Finish)
Selama penggemukan dengan pemberian pakan yang baik, lemak akan dibentuk berturut-turut diluar bundel otot yaitu dibawah kulit dibagian luar karkas (lemak subkutan), dalam rongga perut, sekitar bundel-bundel otot dan juga pada serat-serat otot. Sebagian besar lemak berada diluar bundel otot dan lemak ini akan dilepaskan pada saat prosessing. Lemak
yang terbentuk diantara serat otot disebut “marbling” atau kepualaman dan lemak ini akan sangat berpengaruh terhadap kelezatan daging, kegurihan, bau rasa, penampilan dan keempukan. Kegurihan mungkin merupakan faktor yang sangat penting yang disumbangkan oleh adanya “marbling”, selain itu penampilan daging jadi lebih menarik
5. Persentase KarkasPersentase karkas tidak banyak berpengaruh terhadap kualitas karkas namun penting pada penampilan ternak sebelum dipotong. Pembeli ternak akan memperkirakan nilai karkas dari penampilan ternak sewaktu ternak tersebut masih hidup. Bila pembeli menaksir persentase karkas terlalu tinggi misalnya 1% saja, maka pada ternak yang beratnya 500 kg, pembeli tersebut akan kehilangan 5 kg daging. Faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah konformasi tubuh dan derajat kegemukan. Ternak yang gemuk, persentase karkasnya tinggi dan umumnya berbentuk tebal seperti balok. Ternak yang langsing, badan panjang, leher panjang dan berbentuk segitiga seperti sapi perah, persentase karkasnya rendah. Faktor lain yang mempengaruhi persentase karkas adalah jumlah pakan dan air yang ada pada saluran pencernaan ternak. Bila jumlahnya cukup banyak maka persentase karkasnya akan rendah. Kulit yang besar dan juga tebal juga akan berpengaruh terhadap persentase karkas.
PERLAKUAN PADA TERNAK SEBELUM DIPOTONG2.1. Syarat Ternak yang akan dipotong dan Kebersihan Tempat Penampungan di RPH.
Syarat ternak yang akan dipotong adalah kondisi ternak harus dalam keadaan sehat dan segar, untuk itu setelah ternak tiba dirumah potong perlu diistirahatkan terlebih dahulu sampai kondisi ternak kembali segar. Untuk hewan betina besar bertanduk, boleh dipotong dengan syarat :
1. Tidak dipotong untuk diperjual belikan.2. Betina tersebut mendapat kecelakaan.
3. Betina itu terkena penyakit yang bisa menimbulkan kematian. (misalnya penyakit kembung perut).
4. Betina tersebut dapat membahayakan manusia.
5. Menurut peraturan yang dibuat harus disembelih (umumnya dalam rangka memberantas penyakit).
Bila ternak telah melakukan perjalanan yang panjang dan ternak terlihat lelah, segera setelah diturunkan dari truk atau alat angkut lainnya, ternakternak ini digiring ketempat yang sudah tersedia air untuk minum dan dilakukan penyemprotan dengan air dingin, hal ini bukan saja agar ternak menjadi bersih namun juga akan dapat mengu-rangi stress serta menekan adanya bilur-bilur darah pada bagian dibawah kulit (sub-cutan). Lama waktu istirahat dianjurkan selama 2 hari, meskipun kadang-kadang istirahat selama 2 hari ini belum mencukupi. Pada saat istirahat semua ternak harus diberi makan dan minum yang baik dan cukup meskipun beberapa ternak mungkin tidak mau makan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah keadaandari tempat penampungan ternak di Rumah Potong, yang kadang-kadang merupakan sumber kontaminasi bakteri pathogen (penyebab penyakit). Karena ada kemungkinan ternak yang pernah datang berasal dari suatu daerah, sedang ada dalam keadaan infeksi subklinis dan hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas daging. Lantai tempat penampungan ternak harus dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan, karena jika diantara ternak yang sehat terdapat ternak yang menderita penyakit Salmonelosis, maka besar kemungkinan akan terjadi penularan yang cepat yang dapat menimbulkan resiko dimana dalam Rumah Potong Hewan itu timbul pencemaran.
Kandang untuk peristirahatan ternak harus cukup luasnya serta menyenangkan bagi ternaknya dan lebih baik lagi bila kandang disekatsekat menjadi unit-unit yang lebih kecil, guna mencegah gerombolan yang terlalu banyak. Jalan menuju ruang penyembelihan harus mudah dan apabila ternak yang akan dipotong itu adalah ternak besar yang dipelihara di padang penggembalaan maka pada sisi lorong harus dipagari dengan menggunakan tiang-tiang yang kuat. Pada saat ternak beristirahat pemeriksaan ante-mortem (sebelum ternak disembelih) sudah mulai dijalankan. Pemeriksaan ante-mortem ini sangat penting dilakukan karena merupakan salah satu proses pencegahan penyakit terhadap konsumen. Dalam hal ini “pemeriksa” harus memiliki pengetahuan mengenai kesehatan masyarakat dan juga cukup
berpengalaman dalam menangani ternak-ternak yang akan dipotong. Hal lain yang juga penting yaitu perlakuan terhadap ternak itu sendiri. Perlakuan yang kasar pada ternak sebelum dipotong akan menyebabkan memar pada daging sehingga akan menurunkan kualitas dari pada karkas. Oleh karena itu untuk mengurangi penurunan kualitas karkas, stres lingkungan harus dihindari dan ternak harus diperlakukan dengan baik. Pada umumnya petugas Rumah Potong yang sepanjang dan setiap waktu kerjanya berhubungan dengan ternak cenderung kasar dalam memperlakukan ternak yang akan dipotong.
2.2. Pemeriksaan Ante-mortem.Pada pemeriksaan ante-mortem, hal-hal yang perlu dilakukan adalah :
1. Mengidentifikasi dan menyingkirkan pemotongan ternak-ternak yang terkonta-minasi/terserang penyakit terutama penyakit yang dapat menulari manusia yang mengkonsumsinya.
2. Mengidentifikasi dan memisahkan pemotongan ternak yang dicurigai terkontaminasi/terserang penyakit, dengan syarat dagingnya baru bisa dijual bila telah dilakukan pemeriksaan post-mortem (setelah dipotong) dan ternak-ternak ini harus dipotong terpisah dengan ternak-ternak lain yang nyata sehat.
3. Mencegah agar ternak yang kotor tidak memasuki Rumah Potong, hal ini untuk mencegah agar lantai Rumah Potong tidak kotor. Ternak yang kotor dalam Rumah Potong akan menjadi sumber kontaminasi/penyebaran bakteri yang peluangnya sangat tinggi terhadap karkas yang selanjutnya dapat menulari konsumen.
4. Melakukan pemeriksaan epizootic (penyakit-penyakit ternak yang bisa menular pada manusia). Pemeriksaan terhadap jenis penyakit ini harus dilakukan sedini mungkin seperti pada penyakit Mulut dan Kuku, Anthrax dan penyakit lain yang sejenis. Gejala-gejala penyakit seperti tersebut di atas harus diketahui dengan jelas. Penyakit Anthrax dapat diketahui dengan melihat keluarnya darah dari lubang-lubang pembuangan, radang paha dapat dilihat dengan adanya suara berkerisik bila paha diraba, penyakit mulut dan kuku dapat diketahui dari ludah yang berlebihan keluar. Selain penyakit-penyakit seperti tersebut juga yang harus diwaspadai adalah penyakit mastitis, endometritis, vaginitis, enteritis, arthritis dan panaritium.
5. Memeriksa umur ternak dengan teliti dan benar, agar tidak tertukar antara daging dari ternak muda yang kualitasnya baik dengan daging yang berasal dari ternak yang sudah tua yang umumnya kualitasnya kurang baik.
6. Ternak yang akan dipotong harus diawasi siang dan malam, karena serangan penyakit bisa datang sewaktu-waktu, sehingga bila ada yang terserang mendadak dapat segera diketahui sedini mungkin. Penyakit Anthrax yang akut dapat berkembang malam hari meskipun siang harinya ternak terlihat normal, namun pada pagi harinya kedapatan sudah mati.
7. Cara hewan bergerak dan respon hewan terhadap benda yang dilihatnya. Pada hewan yang sakit respon terhadap benda disekitar kurang baik dan pergerakan dari hewan tersebut akan lambat.
8. Permukaan luar kulit pun harus diperhatikan dengan baik. Hewan yang sehat bulunya akan terlihat mengkilat dan turgornya baik, selain itu kelenjar-kelenjar lymphe dibawah kulit harus diperhatikan, bila ada pembengkakan harus dicurigai hewan itu terkena penyakit.
9. Pada alat pencernaan yang harus mendapat perhatian adalah bibir dan hidung apakah basah atau tidak, cara mengunyah atau memamah biak. Bila hewan menderita diarhe, maka akan terlihar feces kering menempel pada pangkal ekor.10. Kondisi tubuh hewan apakah gemuk, kurus atau sedang. Kondisi hewan yang kurus bisa disebabkan oleh berbagai faktor dan diantaranya oleh penyakit.
Pada saat melakukan ante-mortem ternak harus diobservasi pada saat ternak istirahat. Ternak-ternak yang berbaring memisahkan diri dari kelompoknya harus dicurigai, karena ternak yang sakit cenderung memisahkan diri dari kelompoknya, kejadian ini tidak akan terjadi bila ternak tidak sedang dalam keadaan istirahat. Keadaan seperti ini penting untuk diperhatikan karena merupakan adanya indikasi yang tidak berjalan normal pada ternak tersebut.
2.3. Cara menditeksi ternak yang tidak sehat.
Ternak yang sedang demam dapat diketahui pada saat ternak sedang beristirahat. Ternak tersebut akan terlihat lemah dan tidak bergairah dan kadang-kadang terlihat telinganya terkulai. Ternak babi yang terkena demam akan memisahkan diri dari kelompoknya dan rebahan di teempat yang basah meskipun udara lingkungan sedang dingin.
1. Ternak domba yang terkena penyakit “myasis” akan sering mengibasngibaskan ekornya atau menggisir dan juga bulu pada daerah pantat terdapat kotoran dan basah.2. Penyakit “Pneumonia” dan “Heat-Stroke” akan mudah diditeksi pada saat ternak beristirahat. Ternak yang terkena penyakit ini akan terlihat kembang kempis kesakitan dan pernafasan cepat.
3. Penyakit “Peritonitis” yang akut juga akan bisa dilihat pada ternak bila sedang istirahat. Hal ini banyak terjadi pada babi. Babi yang terserang penyakit ini memperlihatkan perut yang sedikit gembung dan terlihat lemah dan loyo.4. Penyakit “Enteritis” juga bisa dilihat pada saat ternak istirahat. Ternak akan terlihat bungkuk karena pada abdomennya ada luka dan akan mencret bila buang kotoran. Memperhatikan ternak yang akan dipotong sangat penting dilakukan, karena bila ada tingkah laku yang tidak normal perlu dicurigai bahwa ternak tersebut ada kelainan. Disamping diperhatikan pada saat istirahat ternak pun harus diperhatikan pada saat berjalan. Usahakan ternak berjalan perlahan dan dilihat apa ada kelainan atau tidak.
Pengawasan sebaiknya dilakukan pada :1. Sisi sebelah kiri.
2. Sisi sebelah kanan.
3. Bagian depan dan kepala.
4. Bagian belakang (kaki dan anus).
Bila ada sedikit saja yang mencurigakan maka harus dilakukan pemeriksaan yang lebih intensif. Untuk melihat kelainan-kelainan ini membutuhkan pengalaman yang cukup.
2.4. Penimbangan pada TernakPada saat ternak akan dipotong, sebelum memasuki rumah potong, bila ada fasilitas penimbangan ternak, maka sebaiknya ternak ditimbang terlebih dahulu. Mak-sudnya untuk mengetahui berapa berat potong dari ternak tersebut dan berapa kira-kira karkas yang akan dihasilkan. Rumah potong di Indonesia, umumnya tidak memiliki timbangan untuk ternak hidup, baik untuk ternak kecil maupun untuk ternak besar. Untuk ternak kecil kapasitas 100-150 kg sudah memadai, namun untuk ternak besar sebaiknya yang berka-pasitas 750 kg.
Menimbang ternak kecil tidak terlalu sulit karena tenaganya masih bisa diatasi oleh manusia. Pada ternak domba dan kambing cukup dengan menyatukan keempat kakinya dan diikat kemudian digantung pada kait timbangan gantung. Pada sapi ka-rena tenaganya jauh lebih kuat, maka sebaiknya timbangannya dibuat seperti kerangkeng dengan lebar dan panjang lebih besar sedikit dari badan sapi. Pada saat ditimbang pintu kerangkeng sebaiknya tertutup karena dikhawatirkan sapi jadi lebih galak akibat suasana yang berbeda dari biasanya.
Rabu, 14 Maret 2012
TUGAS TEKNOLOGI REPRODUKSI
TUGAS PAPER
TEKNOLOGI REPRODUKSI
INSEMINASI BUATAN
MULAI DARI PEROSES HINGGA APLIKASINYA
OLEH
DWI PURWANI
E1A009051
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2012
PENDAHULUAN
Efisiensi teknologi IB dapat ditingkatkan dengan keberhasilan menentukan kelamin anak yang akan dilahirkan. Anak jantan mempunyai pertumbuhan cepatdan bobot dewasa yang lebih berat dibandingkan betina, sehingga keberhasilan menghasilkan anak jantan pada usaha peternakan sapi potong akan meningkatkan produksi ternak sapi. Sebaliknya pada usaha sapi perah, umumnya anak sapi yang diharapkan kelahirannya adalah anak betina.
Spermatozoa terdiri dari dua jenis, yaitu spermatozoa pembawa kromosom X (spermatozoa X) dan spermatozoa pembawa kromosom Y (spermatozoaY). Keberhasilan spermatozoa X membuahi sel telur akan menghasilkan anak dengan kelamin betina (XX) dan sebaliknya spermatozoa Y akan menghasilkan anak jantan (XY). Kedua jenis spermatozoa ini dilaporkan mempunyai sifat yang berbeda antara lain berat, densiti, motilitas, surface charge dan ukuran (FOOTE, 1982).
Teknologi pemisahan spermatozoa berdasarkan perbedaan sifat sifat tersebut sudah banyak dilakukan (HAFEZ dan HAFEZ, 2000). Teknologi dengan flow cytometry akhir-akhir ini telah dilaporkan dapat memisahkan spermatozoa X dan Y lebih akurat akan tetapi dengan menggunakan peralatan yang kompleks dan sangat mahal (JOHNSON et al., 1994; SEIDEL dan JOHNSON, 1999). Teknologi yang dapat dengan mudah diaplikasikan antara lain teknologi pemisahan dengan menggunakan serum albumin dan sephadex (BEERNINK, 1985). Namun, teknologi pemisahan ini masih belum optimum karena disamping menggunakan zat kimia yang cukup mahal, pemutaran sperma, sedikitnya volume yang digunakan dan juga diperlukan waktu yang lama, mengakibatkan motilitas sperma menjadi rendah.
Prinsip pemisahan spermatozoa dengan serum albumin (bovine serum albumin atau human serum albumin) adalah didasarkan pada kecepatan motilitas spermatozoa, dimana spermatozoa yang mempunyai motilitas tinggi atau spermatozoa pembawa kromosom Y akan lebih awal menembus media pemisah albumin yang lebih pekat (MAXWELL et al., 1984). Putih telur dari telur ayam dapat digunakan sebagai albumin alternatif pengganti BSA (bovine serum albumin) dalam proses pemisahan spermatozoa dan dianggap cukup layak untuk digunakan. Selain mudah terjangkau dan murah, putih telur juga cukup efektif memisahkan spermatozoa X dan Y (SAILI, 1999). Senyawa metilxantina, seperti kafeina, theophylline dan IMX (3-isobutil-1-metilxantina) merupakan zat kimia yang mempunyai fungsi sebagai inhibitor phosphodiesterase (PDE) dalam rantai cAMP. Inhibitor tersebut banyak digunakan dalam upaya meningkatkan motilitas dan velocity/kecepatan serta mempertahankan
Kualitas spermatozoa (JIANG et al., 1984; TAKAHASHI dan FIRST, 1993; NOMURA et al., 1997). Penggunaan metilxantina biasanya bertujuan meningkatkan kualitas sperma yang kurang baik maupun sperma beku yang akan dithawing dan digunakan untuk IB atau fertilisasi in vitro (SHARMA et al., 1992). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan IMX dalam media pemisahan dan lama waktu pemisahan terhadap kualitas sperma dan perubahan rasio spermatozoa X dan Y setelah pemisahan.
Transfer embrio merupakan bagian dari teknologi reproduksi setelah inseminasi buatan yang tengah dikembangkan dalam dunia peternakan Proses transfer embrio meliputi :
1. Metode sinkronisasi birahi dan superovulasi
2. Flushing embrio
3. Pengolahan embrio
4. Pencucian
5. Pengisian straw
6. Teknik transfer embrio
Teknik transfer embrio menggunakan embrio segar maupun embrio beku pada prinsipnya sama, kecuali pada transfer embrio beku diperlukan thawing embrio dan degliserolisasi untuk menghilangkan cryoprotectant yang ada dalam media embrio beku.
PEMBAHASAN
INSEMINASI BUATAN
Inseminasi Buatan (IB) pada hewan peliharaan telah lama dilakukan sejak berabad-abad yang lampau. Seorang pangeran arab yang sedang berperang pada abad ke-14 dan dalam keadaan tersebut kuda tunggangannya sedang mengalami birahi. Kemudian dengan akar cerdinya, sang pangeran dengan menggunakan suatu tampon kapas, sang pangeran mencuri semen dalam vagina seekor kuda musuhnya yang baru saja dikawinkan dengan pejantan yang dikenal cepat larinya.Tampon tersebut kemudian dimasukan ke dalam vagina kuda betinanya sendiri yang sedang birahi. Alhasil ternyata kuda betina tersebut menjadi bunting dan lahirlah kuda baru yang dikenal tampan dan cepat larinya. Inilah kisa awal tentang IB, dan setelah itu tidak lagi ditemukan catatan mengenai pelaksanaan IB atau penelitian ke arah pengunaan teknik tersebut.
Tiga abad kemudian, barulah ada pengamatan kembali tentang reproduksi. Tepatnya pada tahun 1677, Anthony van Leeuwenhoek sarjana Belanda penemu mikroskop dan muridnya Johan amm merupakan orang pertama yang melihat sel kelamin jantan dengan mikroskop buatannya sendiri. Mereka menyebut sel kelamin jantan yang tak terhitung jumlahnya tersebut animalcules atau animalculae yang berarti jasad renik yang mempunyai daya gerak maju progresif. Di kemudian hari sel kelamin jantan tersebut dikenal dengan spermatozoatozoa. Pada tahun berikutnya, 1678, seorang dokter dan anatomi Belanda, Reijnier (Regner) de Graaf, menemukan folikel pada ovarium kelinci.
Penelitian ilmiah pertama dalam bidang inseminasi buatan pada hewan piarann dialkukan oleh ahli fisiologi dan anatomi terkenal Italia, yaitu Lazzaro Spallanzani pada tahun 1780. Dia berhasil menginseminasi amphibia, yang kemudian memutuskan untuk melakukan percobaan pada anjing. Anjing yang dipelihara di rumahnya setelah muncul tanda-tanda birahi dilakukan inseminasi dengan semen yang dideposisikan langsung ke dalam uterus dengan sebuah spuit lancip. Enam puluh hari setelah inseminasi, induk anjing tersebut melahirkan anak tiga yang kesemuanya mirip dengan induk dan jantan uang dipakai semennya. Dua tahun kemudian (1782) penelitian spallanzani tersebut diulangi oleh P. Rossi dengan hasil yang memuaskan. Semua percobaan ini membuktikan bahwa kebuntingan dapat terjadi dengan mengunakan inseminasi dan menghasilkan keturunan normal.
Spallanzani juga membuktikan bahwa daya membuahi semen terletak pada spermatozoatozoa, bukan pada cairan semen. Dia membuktikannya dengan menyaring semen yang baru ditampung. Cairan yang tertinggal diatas filter mempunyai daya fertilisasi tinggi. Peneliti yang sama pada tahun 1803, menyumbangkan pengetahuannya mengenai pengaruh pendinginan terhadap perpanjangan hidup spermatozoatozoa. Dia mengamati bahwa semen kuda yang dibekukan dalam salju atau hawa dimusim dingin tidak selamanya membunuh spermatozoatozoa tetapi mempertahankannya dalam keadaaan tidak bergerak sampai dikenai panas dan setelah itu tetap bergerak selama tujuh setengah jam. Hasil penemuannya mengilhami peneliti lain untuk lebih mengadakan penelitian yang mendalam terhadap sel-sel kelamin dan fisiologi pembuahan. Dengan jasa yang ditanamkannya kemudian masyarakat memberikan gelar kehormatan kepada dia sebagai Bapak Inseminasi.
Perkenalan pertama IB pada peternakan kuda di Eropa, dilakukan oleh seorang dokter hewan Perancis, Repiquet (1890). Dia menasehatkan pemakaian teknik tersebut sebagai suatu cara untuk mengatasi kemajiran. Hasil yang diperoleh masih kurang memuaskan, masih banyak dilakukan penelitian untuk mengatasinya, salah satu usaha mengatasi kegagalan itu, Prof. Hoffman dari Stuttgart, Jerman, menganjurkan agar dilakukan IB setelah perkawinan alam. Caranya vagina kuda yang telah dikawinkan dikuakkan dan dengan spuit diambil semennya. Semen dicampur dengan susu sapi dan kembali diinsemiasikan pada uterus hewan tersebut. Namun diakui cara ini kurang praktis untuk dilaksanakan pada tahun 1902, Sand dan Stribold dari Denmark, berhasil memperoleh empat konsepsi dari delapan kuda betina yang di IB. Mereka menganjurkan IB sebagai suatu cara yang ekonomis dalam pengunaan dan penyebaran semen dari kuda jantan yang berharga dan memajukan peternakan pada umumnya.
Penanganan IB secara serius dilakukan di Rusia, sebagai usaha untuk memajukan peternakan. Peneliti dan pelopor terkemuka dalam bidang IB di Rusia adalah Elia I. Ivannoff. Tahun 1899 ia diminta Direktur Peternakan Kuda Kerjaaan Rusia, untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan pemakaian IB. Dan dilah orang pertama yang berhasil melakukan IB pada sapi dan domba.
Hasil spektakuler dan sukses terbesar yang diperoleh adalah di Askaniya-Nova (1912) yang berhasil menghasilkan 31 konsepesi yang 39 kuda yang di IB, sedang dengan perkawinan alam hanya diperoleh 10 konsepsi dari 23 kuda yang di IB. Tahun 1914, Geuseppe amantea Guru Besar fisiologi manusia di Roma, banyak mengadakan penelitian tentang spermatozoatologi, dengan hewan percobaan anjing, burung merpati dan ayam. Kemudian dia berhasil membuat vagina buatan pertama untuk anjing. Berdasar penemuan ini banyak peneliti lain membuat vagina buatan untuk sapi, kuda dan domba. Tahun 1926, Roemelle membuat yang pertama kali membuat vagina buatan untuk sapi, dan orang pertama yang membuat vagina buatan untuk domba dan kambing adalah Fred F. Mckenzie (Amerika Serikat) pada tahun 1931. Pada tahun 1938 Prof. Enos J. Perry mendirikan koperasi IB pertama di Amerika Serikat yang terletak di New Jersey.
Kemajuan pesat dibidang IB, sangat dipercepat dengan adanya penemuan teknologi pembekuan semen sapi yang disposori oleh C. Polge, A.U. Smith dan A.S. Parkes dari Inggris pada tahun 1949. Mereka berhasil menyimpan semen untuk waktu panjang dengan membekukan sampai -79 0C dengan mengunakan CO2 pada (dry ice) sebagai pembeku dan gliserol sebagai pengawet. Pembekuan ini disempurnakan lagi, dengan dipergunakannya nitrogen cair sebagai bahan pembeku, yang menghasilkan daya simpan yang lebih lama dan lebih praktis, dengan suhu penyimpanan -169 0C.
Sejarah Perkembangan Inseminasi Buatan di Indonesia
Inseminasi Buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun limapuluhan oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Dalam rangka rencana kesejahteraan istimewa (RKI) didirikanlah beberpa satsiun IB di beberapa daerah di awa Tenggah (Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan), Jawa Timur (Pakong dan Grati), Jawa Barat (Cikole/Sukabumi) dan Bali (Baturati). Juga FKH dan LPP Bogor, difungsikan sebagai stasiun IB untuk melayani daerah Bogor dan sekitarnya, Aktivitas dan pelayanan IB waktu itu bersifat hilang, timbul sehingga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat.
Pada tahun 1959 dan tahun-tahun berikutnya, perkembangan dan aplikasi IB untuk daerah Bogor dan sekitranya dilakukan FKH IPB, masih mengikuti jejak B. Seit yaitu penggunaan semen cair umtuk memperbaiki mutu genetik ternak sapi perah. Pada waktu itu belum terfikirkan untuk sapi potong. Menjelang tahun 1965, keungan negara sangat memburuk, karena situasi ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan, sehingga kegiatan IB hampir-hampir tidak ada. Stasiun IB yang telah didirikan di enam tempay dalam RKI, hanya Ungaran yang masih bertahan.
Di Jawa Tenggah kedua Balai Pembenihan Ternak yang ditunjuk, melaksanakan kegiatan IB sejak tahun1953, dengan tujuan intensifikasi onggolisasi untuk Mirit dengan semen Sumba Ongole (SO) dan kegiatan di Ungaran bertujuan menciptakan ternak serba guna, terutama produksi susu dengan pejantan Frisien Holstein (FH). Ternyata nasib Balai Pembibitan Ternak kurang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, kecuali Balai Pembibitan Ternak Ungaran, dan tahun1970 balai ini diubah namanya menjadi Balai Inseminasi Buatan Ungaran, dengan daerah pelayanan samapi sekarang di daerah jalur susu Semarang – Solo – Tegal.
Inseminasi buatan telah pula digalakkan atau diperkenalkan oleh FKH IPB, di daerah Pengalengan, Bandung Selatan, bahkan pernah pula dilakukan pameran pedet (Calf Show) pertama hasil IB. Kemajuan tersebut disebabkan adanya sarana penunjang di daerah tersebut yaitu 1) rakyat pemelihara sapi telah mengenal tanda-tanda berahi dengan baik, 2) rakyat telah tahu dengan pasti bahwa peningkatan mutu ternak melalui IB merupakan jalan yang sesingkat-singkatnya menuju produksi tinggi, 3) pengiriman semen cair dari Bogor ke Pengalengan dapat memenuhi permintaan, sehingga perbaikan mutu genetik ternak segera dapat terlihat.
Hasil-hasil perbaikan mutu genetik ternak di Pengalengan cukup dapat memberi harapan kepda rakyat setempat. Namun sayangnya peningkatan produksi tidak diikuti oleh peningkatan penampungan produksi itu sendiri. Susu sapi umumnya dikonsumsi rakyat setempat. Akibatnya produsen susu menjadi lesu, sehingga perkembangan IB di Pangalengan sampai tahun 1970, mengalami kemunduran akibat munculnya industri-industri susu bubuk yang menggunakan susu bubuk impor sebagai bahan bakunya.
Kekurang berhasilan program IB antara tahun 1960-1970, banyak disebabkan karena semen yang digunakan semen cair, dengan masa simpan terbatas dan perlu adanya alat simpan sehingga sangat sulit pelaksanaanya di lapangan. Disamping itu kondisi perekonomian saat itu sangat kritis sehingga pembangunan bidang peternakan kurang dapat perhatian.
Dengan adanya program pemerintah yang berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dimulai tahun 1969, maka bidang peternakan pun ikut dibangun. Tersedianya dana dan fasilitas pemerintah akan sangat menunjang peternakan di Indonesia, termasuk program IB. Pada awal tahun 1973 pemerintah measukan semen beku ke Indonesia. Dengan adanya semen beku inilah perkembangan IB mulai maju dengan pesat, sehingga hampir menjangkau seluruh provinsi di Indonesia.
Semen beku yang digunkan selema ini merupakan pemberian gratis pemerintah Inggris dansSelandia Baru. Selanjutnya pada tahun 1976 pemerintah Selandia Baru membantu mendirikan Balai Inseminasi Buatan, dengan spesialisasi memproduksi semen beku yang terletak di daerah Lembang Jawa Barat. Setahun kemudian didirikan pula pabrik semen beku kedua yakni di Wonocolo Suranaya yang perkembangan berikutnya dipindahkan ke Singosari Malang Jawa Timur.
Untuk kerbau pernah pula dilakukan IB, yakni di daerah Serang, Banten, dengan IPB sebagai pelaksana dan Dirjen Peternakan sebagai sponsornya (1978). Namun perkembangannya kurang memuaskan karena dukungan sponsor yang kurang menunjang, disamping reproduksi kerbau belum banyak diketahui. IB pada kerbau pernah juga diperkenalakan di Tanah Toraja Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Jawa Timur.
Hasil evaluasi pelaksanaan IB di Jawa, tahun 1972-1974, yang dilaksanakan tahun 1974, menunjukan anka konsepsi yang dicapai selama dua tahun tersebut sangat rendah yaitu antara 21,3 – 38,92 persen. Dari survei ini disimpulkan juga bahwa titik lemah pelaksaan IB, tidak terletak pada kualitas semen, tidak pula pada keterampilan inseminator, melainkan sebagian besar terletak pada ketidak suburan ternak-ternak betina itu sendiri. Ketidak suburan ini banyak disebabkan oleh kekurangan pakan, kelainan fisiologi anatomi dan kelainan patologik alat kelamin betina serta merajalelanya penyakit kelamin menular. Dengan adanya evaluasi terebut maka perlu pula adanya penyemopurnaan bidang organisasi IB, perbaikan sarana, intensifikasi dan perhatian aspek pakan, manajemen, pengendalian penyakit.
Tujuan, Keuntungan dan Kerugian Insemiasi Buatan
Yang dimaksud dengan Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah suatu cara atau teknik untuk memasukkan mani (spermatozoa atau semen) yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang disebut ‘insemination gun‘.
Tujuan Inseminasi Buatan
a) Memperbaiki mutu genetika ternak;
b) Tidak mengharuskan pejantan unggul untuk dibawa ketempat yang dibutuhkan sehingga mengurangi biaya ;
c) Mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam jangka waktu yang lebih lama;
d) Meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan teratur;
e) Mencegah penularan / penyebaran penyakit kelamin.
Keuntungan IB
a) Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan;
b) Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik;
c) Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding);
d) Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat simpan dalam jangka waktu yang lama;
e) Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun pejantan telah mati;
f) Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar;
g) Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan dengan hubungan kelamin.
Kerugian IB
a) Apabila identifikasi birahi (estrus) dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat maka tidak akan terjadi terjadi kebuntingan;
b) Akan terjadi kesulitan kelahiran (distokia), apabila semen beku yang digunakan berasal dari pejantan dengan breed / turunan yang besar dan diinseminasikan pada sapi betina keturunan / breed kecil;
c) Bisa terjadi kawin sedarah (inbreeding) apabila menggunakan semen beku dari pejantan yang sama dalam jangka waktu yang lama;
d) Dapat menyebabkan menurunnya sifat-sifat genetik yang jelek apabila pejantan donor tidak dipantau sifat genetiknya dengan baik (tidak melalui suatu progeny test).
PENUTUP
Kesimpulan
Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah suatu cara atau teknik untuk memasukkan mani (spermatozoa atau semen) yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang disebut ‘insemination gun‘.
Fertilisasi atau pembuahan adalah proses bertemunya kedua sel gamet (jantan dan betina) atau lebih tepatnya peleburan dua sel gamet dapat berupa nucleus atau sel bernukeleus untuk kemudian membentuk zigot.
Embrio memiliki tahapan pertumbuhan yang sangat kompleks dan terdiri 5 periode, yaitu :
1. Periode persiapan
2. Periode pembuahan
3. Periode pertumbuhan awal
4. Periode antara
5. Periode pertumbuahan akhir
Transfer embrio merupakan bagian dari teknologi reproduksi setelah inseminasi buatan yang tengah dikembangkan dalam dunia peternakan
Teknik transfer embrio menggunakan embrio segar maupun embrio beku pada prinsipnya sama, kecuali pada transfer embrio beku diperlukan thawing embrio dan degliserolisasi untuk menghilangkan cryoprotectant yang ada dalam media embrio beku.
Masalah utama di Indonesia untuk pengembangkan teknologi IVF pada sapi yaitu tersedianya materi ovarium berkualitas baik dan dalam jumlah banyak tidak dapat terpenuhi. Teknik koleksi sel telur dari hewan hidup atau dikenal dengan istilah ‘OPU[ES][SQ] (ovum pick up)diharapkan dapat mengatasi persoalan tersebut terutama untuk program pemuliabiakan karena materi genetik berupa sel telur dapat dikoleksi dari donor hewan terpilih dari anak sapi (juvenile atau heifer) atau induk (cow). Dengan teknik IVF diharapkan kebutuhan masyarakat akan protein hewani dapat dipenuhi dengan cepat dan murah. Selain itu dengan teknik ‘OPU[ES][SQ], mutu ternak dapat diperbaiki lebih cepat karena jarak generasi dapat diperpendek.
Manipulasi genetik dilakukan untuk beberapa tujuan. Pada bidang pertanian, dengan manipulasi genetik dihasilkan hewan yang memiliki karakter yang diharapkan (breeding), pangan yang lebih sehat dihasilkan lebih cepat (kualitas pangan) dan resistensi terhadap infeksi bakteri yang tersebar bebas (resistensi penyakit). Bidang industri, produk baru (kambing yang menghasilkan sutra laba-laba) dapat diciptakan. Dalam bidang riset, memunculkan model riset baru (mencit transgenik) dan evolusi yang dipaksa (organisme baru dengan karakter yang lebih diharapkan).
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, Y. 1994. "Pengaruh Tingkat Dosis Inseminasi Buatan dan Macam Pengecer Semen Terhadap Daya Tunas Tetas Telur Ayam Buras": Skripsi S 1 (Unpublish).Jurusan Biologi. FAMIPA-UNPAK, Bogor.
Baguisi,A., and E.W. Overstrom. 2000. Induced enucleation in nuclear transfer procedures to produce cloned animals. Theriogenology, 53 : 209.
Barke, D.B. Adams And K.J Hutchinson. (Eds.). 1985. University Of New England. Australia.
Beernink F.J. 1985. Technique For Separating X And Y Spermatozoa. In: Foundations Of In Vitro Fertilization. C.M. Fredricks, J.D. Paulson, A.H. Decherney (Eds.). New York, Hemisphere Use Of Fresh And Frozen–Thawed Bull Sperm In Vitro. Theriogenology 35: 204.
Brehm A, K. Ohbo, HR. Scholer. 1997. The carboxy-terminal transactivation domain of Oct 4 acquires cell specificity through the POU domain. Mol Cell Biol 17 : p. 154 –162.
Campbell, K.H., J. McWHir, W.A. Ritchie, and I. Wilmut. 1996. Sheep cloned by nuclear transfer from a cultured cell line. Nature, 380 : 64 – 66.
Collas, P. and F. Barnes. 1994. Transplantasi inti by microinjection of inner cell mass and granulose cell nuclei. Molecular Reproduction and Development. 38 : 264 – 267.
Collman, A. 2000. somatic cell nuclear transfer in mammals : progress and applications.Kloning, 1 : 185 – 200.
Ericson, R.J. Dan R.H. Glass. 1982. Functional Differences Between Sperm Bearing The X- Or Y-Chromosome. In: Prospects For Sexing Mammalian Sperm. R.P. Amann And G.E. Seidel, Jr. (Eds.). Colorado University Asscociated Press. Boulder, Colorado, Usa. Pp. 201-211.
Feng, J., Y. Li, M. Hashad, E. Schurr, P. Gross, L.J. Adams, and J.W. Templeton. 1996.Bovine natural desease resitance associated macrophage protein (NRAMP1) gene.Genome Research, 6 : 956 -964.
Foote, R.H. 1982. Functional Differences Between Sperm Bearing X And Y Chromosome. In: Prospects For Sexing Mamalian Sperm. Bp Amann And G.E. Seidel, Jr (Eds.). Colorado University Asscociated Press. Boulder, Colorado, Usa.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah Swt karena berkat limpahan rahmat dan ridhoNya penulis dapat menyelesaikan tugas paper mata kuliah Teknologi Reproduksi yang berjudul “ Inseminasi Buatan, mulai dari peroses hingga aplikasinya ” ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Pada paper ini akan membahas mengenai teknik dari inseminasi buatan, mulai dari peroses hingga aplikasinya dan segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan teknologi reproduksi ternak secara rinci. Dengan tujuan agar mahasiswa memiliki pengetahuan mengenai penggunaan dan manfaat dalam mempelajari teknologi reproduksi ternak dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari serta mampu mengubah pola pikir mahasiswa untuk mengenal teknologi didalam penerapan ilmu reproduksi ternak.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Teknologi Reproduksi yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam melaksanakan rangkaian proses belajar sehingga penulis merasa sangat terbantu dalam teknis pelaksanaan perkuliahan dan materi yang telah disampaikan.
Penulis menyadari bahwa tugas paper ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat konstuktif sangat penulis harapkan untuk evaluasi dalam pembuatan paper yang berkaitan dengan materi kuliah selanjutnya.
Akhirnya, penulis berharap agar paper ini dapat memberikan manfaat dalam pengembangan wawasan pembaca dan ilmu pengetahuan khususnya mengenai teknologi reproduksi pada ternak.
Jambi, Maret 2012
Penulis
TEKNOLOGI REPRODUKSI
INSEMINASI BUATAN
MULAI DARI PEROSES HINGGA APLIKASINYA
OLEH
DWI PURWANI
E1A009051
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2012
PENDAHULUAN
Efisiensi teknologi IB dapat ditingkatkan dengan keberhasilan menentukan kelamin anak yang akan dilahirkan. Anak jantan mempunyai pertumbuhan cepatdan bobot dewasa yang lebih berat dibandingkan betina, sehingga keberhasilan menghasilkan anak jantan pada usaha peternakan sapi potong akan meningkatkan produksi ternak sapi. Sebaliknya pada usaha sapi perah, umumnya anak sapi yang diharapkan kelahirannya adalah anak betina.
Spermatozoa terdiri dari dua jenis, yaitu spermatozoa pembawa kromosom X (spermatozoa X) dan spermatozoa pembawa kromosom Y (spermatozoaY). Keberhasilan spermatozoa X membuahi sel telur akan menghasilkan anak dengan kelamin betina (XX) dan sebaliknya spermatozoa Y akan menghasilkan anak jantan (XY). Kedua jenis spermatozoa ini dilaporkan mempunyai sifat yang berbeda antara lain berat, densiti, motilitas, surface charge dan ukuran (FOOTE, 1982).
Teknologi pemisahan spermatozoa berdasarkan perbedaan sifat sifat tersebut sudah banyak dilakukan (HAFEZ dan HAFEZ, 2000). Teknologi dengan flow cytometry akhir-akhir ini telah dilaporkan dapat memisahkan spermatozoa X dan Y lebih akurat akan tetapi dengan menggunakan peralatan yang kompleks dan sangat mahal (JOHNSON et al., 1994; SEIDEL dan JOHNSON, 1999). Teknologi yang dapat dengan mudah diaplikasikan antara lain teknologi pemisahan dengan menggunakan serum albumin dan sephadex (BEERNINK, 1985). Namun, teknologi pemisahan ini masih belum optimum karena disamping menggunakan zat kimia yang cukup mahal, pemutaran sperma, sedikitnya volume yang digunakan dan juga diperlukan waktu yang lama, mengakibatkan motilitas sperma menjadi rendah.
Prinsip pemisahan spermatozoa dengan serum albumin (bovine serum albumin atau human serum albumin) adalah didasarkan pada kecepatan motilitas spermatozoa, dimana spermatozoa yang mempunyai motilitas tinggi atau spermatozoa pembawa kromosom Y akan lebih awal menembus media pemisah albumin yang lebih pekat (MAXWELL et al., 1984). Putih telur dari telur ayam dapat digunakan sebagai albumin alternatif pengganti BSA (bovine serum albumin) dalam proses pemisahan spermatozoa dan dianggap cukup layak untuk digunakan. Selain mudah terjangkau dan murah, putih telur juga cukup efektif memisahkan spermatozoa X dan Y (SAILI, 1999). Senyawa metilxantina, seperti kafeina, theophylline dan IMX (3-isobutil-1-metilxantina) merupakan zat kimia yang mempunyai fungsi sebagai inhibitor phosphodiesterase (PDE) dalam rantai cAMP. Inhibitor tersebut banyak digunakan dalam upaya meningkatkan motilitas dan velocity/kecepatan serta mempertahankan
Kualitas spermatozoa (JIANG et al., 1984; TAKAHASHI dan FIRST, 1993; NOMURA et al., 1997). Penggunaan metilxantina biasanya bertujuan meningkatkan kualitas sperma yang kurang baik maupun sperma beku yang akan dithawing dan digunakan untuk IB atau fertilisasi in vitro (SHARMA et al., 1992). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan IMX dalam media pemisahan dan lama waktu pemisahan terhadap kualitas sperma dan perubahan rasio spermatozoa X dan Y setelah pemisahan.
Transfer embrio merupakan bagian dari teknologi reproduksi setelah inseminasi buatan yang tengah dikembangkan dalam dunia peternakan Proses transfer embrio meliputi :
1. Metode sinkronisasi birahi dan superovulasi
2. Flushing embrio
3. Pengolahan embrio
4. Pencucian
5. Pengisian straw
6. Teknik transfer embrio
Teknik transfer embrio menggunakan embrio segar maupun embrio beku pada prinsipnya sama, kecuali pada transfer embrio beku diperlukan thawing embrio dan degliserolisasi untuk menghilangkan cryoprotectant yang ada dalam media embrio beku.
PEMBAHASAN
INSEMINASI BUATAN
Inseminasi Buatan (IB) pada hewan peliharaan telah lama dilakukan sejak berabad-abad yang lampau. Seorang pangeran arab yang sedang berperang pada abad ke-14 dan dalam keadaan tersebut kuda tunggangannya sedang mengalami birahi. Kemudian dengan akar cerdinya, sang pangeran dengan menggunakan suatu tampon kapas, sang pangeran mencuri semen dalam vagina seekor kuda musuhnya yang baru saja dikawinkan dengan pejantan yang dikenal cepat larinya.Tampon tersebut kemudian dimasukan ke dalam vagina kuda betinanya sendiri yang sedang birahi. Alhasil ternyata kuda betina tersebut menjadi bunting dan lahirlah kuda baru yang dikenal tampan dan cepat larinya. Inilah kisa awal tentang IB, dan setelah itu tidak lagi ditemukan catatan mengenai pelaksanaan IB atau penelitian ke arah pengunaan teknik tersebut.
Tiga abad kemudian, barulah ada pengamatan kembali tentang reproduksi. Tepatnya pada tahun 1677, Anthony van Leeuwenhoek sarjana Belanda penemu mikroskop dan muridnya Johan amm merupakan orang pertama yang melihat sel kelamin jantan dengan mikroskop buatannya sendiri. Mereka menyebut sel kelamin jantan yang tak terhitung jumlahnya tersebut animalcules atau animalculae yang berarti jasad renik yang mempunyai daya gerak maju progresif. Di kemudian hari sel kelamin jantan tersebut dikenal dengan spermatozoatozoa. Pada tahun berikutnya, 1678, seorang dokter dan anatomi Belanda, Reijnier (Regner) de Graaf, menemukan folikel pada ovarium kelinci.
Penelitian ilmiah pertama dalam bidang inseminasi buatan pada hewan piarann dialkukan oleh ahli fisiologi dan anatomi terkenal Italia, yaitu Lazzaro Spallanzani pada tahun 1780. Dia berhasil menginseminasi amphibia, yang kemudian memutuskan untuk melakukan percobaan pada anjing. Anjing yang dipelihara di rumahnya setelah muncul tanda-tanda birahi dilakukan inseminasi dengan semen yang dideposisikan langsung ke dalam uterus dengan sebuah spuit lancip. Enam puluh hari setelah inseminasi, induk anjing tersebut melahirkan anak tiga yang kesemuanya mirip dengan induk dan jantan uang dipakai semennya. Dua tahun kemudian (1782) penelitian spallanzani tersebut diulangi oleh P. Rossi dengan hasil yang memuaskan. Semua percobaan ini membuktikan bahwa kebuntingan dapat terjadi dengan mengunakan inseminasi dan menghasilkan keturunan normal.
Spallanzani juga membuktikan bahwa daya membuahi semen terletak pada spermatozoatozoa, bukan pada cairan semen. Dia membuktikannya dengan menyaring semen yang baru ditampung. Cairan yang tertinggal diatas filter mempunyai daya fertilisasi tinggi. Peneliti yang sama pada tahun 1803, menyumbangkan pengetahuannya mengenai pengaruh pendinginan terhadap perpanjangan hidup spermatozoatozoa. Dia mengamati bahwa semen kuda yang dibekukan dalam salju atau hawa dimusim dingin tidak selamanya membunuh spermatozoatozoa tetapi mempertahankannya dalam keadaaan tidak bergerak sampai dikenai panas dan setelah itu tetap bergerak selama tujuh setengah jam. Hasil penemuannya mengilhami peneliti lain untuk lebih mengadakan penelitian yang mendalam terhadap sel-sel kelamin dan fisiologi pembuahan. Dengan jasa yang ditanamkannya kemudian masyarakat memberikan gelar kehormatan kepada dia sebagai Bapak Inseminasi.
Perkenalan pertama IB pada peternakan kuda di Eropa, dilakukan oleh seorang dokter hewan Perancis, Repiquet (1890). Dia menasehatkan pemakaian teknik tersebut sebagai suatu cara untuk mengatasi kemajiran. Hasil yang diperoleh masih kurang memuaskan, masih banyak dilakukan penelitian untuk mengatasinya, salah satu usaha mengatasi kegagalan itu, Prof. Hoffman dari Stuttgart, Jerman, menganjurkan agar dilakukan IB setelah perkawinan alam. Caranya vagina kuda yang telah dikawinkan dikuakkan dan dengan spuit diambil semennya. Semen dicampur dengan susu sapi dan kembali diinsemiasikan pada uterus hewan tersebut. Namun diakui cara ini kurang praktis untuk dilaksanakan pada tahun 1902, Sand dan Stribold dari Denmark, berhasil memperoleh empat konsepsi dari delapan kuda betina yang di IB. Mereka menganjurkan IB sebagai suatu cara yang ekonomis dalam pengunaan dan penyebaran semen dari kuda jantan yang berharga dan memajukan peternakan pada umumnya.
Penanganan IB secara serius dilakukan di Rusia, sebagai usaha untuk memajukan peternakan. Peneliti dan pelopor terkemuka dalam bidang IB di Rusia adalah Elia I. Ivannoff. Tahun 1899 ia diminta Direktur Peternakan Kuda Kerjaaan Rusia, untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan pemakaian IB. Dan dilah orang pertama yang berhasil melakukan IB pada sapi dan domba.
Hasil spektakuler dan sukses terbesar yang diperoleh adalah di Askaniya-Nova (1912) yang berhasil menghasilkan 31 konsepesi yang 39 kuda yang di IB, sedang dengan perkawinan alam hanya diperoleh 10 konsepsi dari 23 kuda yang di IB. Tahun 1914, Geuseppe amantea Guru Besar fisiologi manusia di Roma, banyak mengadakan penelitian tentang spermatozoatologi, dengan hewan percobaan anjing, burung merpati dan ayam. Kemudian dia berhasil membuat vagina buatan pertama untuk anjing. Berdasar penemuan ini banyak peneliti lain membuat vagina buatan untuk sapi, kuda dan domba. Tahun 1926, Roemelle membuat yang pertama kali membuat vagina buatan untuk sapi, dan orang pertama yang membuat vagina buatan untuk domba dan kambing adalah Fred F. Mckenzie (Amerika Serikat) pada tahun 1931. Pada tahun 1938 Prof. Enos J. Perry mendirikan koperasi IB pertama di Amerika Serikat yang terletak di New Jersey.
Kemajuan pesat dibidang IB, sangat dipercepat dengan adanya penemuan teknologi pembekuan semen sapi yang disposori oleh C. Polge, A.U. Smith dan A.S. Parkes dari Inggris pada tahun 1949. Mereka berhasil menyimpan semen untuk waktu panjang dengan membekukan sampai -79 0C dengan mengunakan CO2 pada (dry ice) sebagai pembeku dan gliserol sebagai pengawet. Pembekuan ini disempurnakan lagi, dengan dipergunakannya nitrogen cair sebagai bahan pembeku, yang menghasilkan daya simpan yang lebih lama dan lebih praktis, dengan suhu penyimpanan -169 0C.
Sejarah Perkembangan Inseminasi Buatan di Indonesia
Inseminasi Buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun limapuluhan oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Dalam rangka rencana kesejahteraan istimewa (RKI) didirikanlah beberpa satsiun IB di beberapa daerah di awa Tenggah (Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan), Jawa Timur (Pakong dan Grati), Jawa Barat (Cikole/Sukabumi) dan Bali (Baturati). Juga FKH dan LPP Bogor, difungsikan sebagai stasiun IB untuk melayani daerah Bogor dan sekitarnya, Aktivitas dan pelayanan IB waktu itu bersifat hilang, timbul sehingga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat.
Pada tahun 1959 dan tahun-tahun berikutnya, perkembangan dan aplikasi IB untuk daerah Bogor dan sekitranya dilakukan FKH IPB, masih mengikuti jejak B. Seit yaitu penggunaan semen cair umtuk memperbaiki mutu genetik ternak sapi perah. Pada waktu itu belum terfikirkan untuk sapi potong. Menjelang tahun 1965, keungan negara sangat memburuk, karena situasi ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan, sehingga kegiatan IB hampir-hampir tidak ada. Stasiun IB yang telah didirikan di enam tempay dalam RKI, hanya Ungaran yang masih bertahan.
Di Jawa Tenggah kedua Balai Pembenihan Ternak yang ditunjuk, melaksanakan kegiatan IB sejak tahun1953, dengan tujuan intensifikasi onggolisasi untuk Mirit dengan semen Sumba Ongole (SO) dan kegiatan di Ungaran bertujuan menciptakan ternak serba guna, terutama produksi susu dengan pejantan Frisien Holstein (FH). Ternyata nasib Balai Pembibitan Ternak kurang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, kecuali Balai Pembibitan Ternak Ungaran, dan tahun1970 balai ini diubah namanya menjadi Balai Inseminasi Buatan Ungaran, dengan daerah pelayanan samapi sekarang di daerah jalur susu Semarang – Solo – Tegal.
Inseminasi buatan telah pula digalakkan atau diperkenalkan oleh FKH IPB, di daerah Pengalengan, Bandung Selatan, bahkan pernah pula dilakukan pameran pedet (Calf Show) pertama hasil IB. Kemajuan tersebut disebabkan adanya sarana penunjang di daerah tersebut yaitu 1) rakyat pemelihara sapi telah mengenal tanda-tanda berahi dengan baik, 2) rakyat telah tahu dengan pasti bahwa peningkatan mutu ternak melalui IB merupakan jalan yang sesingkat-singkatnya menuju produksi tinggi, 3) pengiriman semen cair dari Bogor ke Pengalengan dapat memenuhi permintaan, sehingga perbaikan mutu genetik ternak segera dapat terlihat.
Hasil-hasil perbaikan mutu genetik ternak di Pengalengan cukup dapat memberi harapan kepda rakyat setempat. Namun sayangnya peningkatan produksi tidak diikuti oleh peningkatan penampungan produksi itu sendiri. Susu sapi umumnya dikonsumsi rakyat setempat. Akibatnya produsen susu menjadi lesu, sehingga perkembangan IB di Pangalengan sampai tahun 1970, mengalami kemunduran akibat munculnya industri-industri susu bubuk yang menggunakan susu bubuk impor sebagai bahan bakunya.
Kekurang berhasilan program IB antara tahun 1960-1970, banyak disebabkan karena semen yang digunakan semen cair, dengan masa simpan terbatas dan perlu adanya alat simpan sehingga sangat sulit pelaksanaanya di lapangan. Disamping itu kondisi perekonomian saat itu sangat kritis sehingga pembangunan bidang peternakan kurang dapat perhatian.
Dengan adanya program pemerintah yang berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dimulai tahun 1969, maka bidang peternakan pun ikut dibangun. Tersedianya dana dan fasilitas pemerintah akan sangat menunjang peternakan di Indonesia, termasuk program IB. Pada awal tahun 1973 pemerintah measukan semen beku ke Indonesia. Dengan adanya semen beku inilah perkembangan IB mulai maju dengan pesat, sehingga hampir menjangkau seluruh provinsi di Indonesia.
Semen beku yang digunkan selema ini merupakan pemberian gratis pemerintah Inggris dansSelandia Baru. Selanjutnya pada tahun 1976 pemerintah Selandia Baru membantu mendirikan Balai Inseminasi Buatan, dengan spesialisasi memproduksi semen beku yang terletak di daerah Lembang Jawa Barat. Setahun kemudian didirikan pula pabrik semen beku kedua yakni di Wonocolo Suranaya yang perkembangan berikutnya dipindahkan ke Singosari Malang Jawa Timur.
Untuk kerbau pernah pula dilakukan IB, yakni di daerah Serang, Banten, dengan IPB sebagai pelaksana dan Dirjen Peternakan sebagai sponsornya (1978). Namun perkembangannya kurang memuaskan karena dukungan sponsor yang kurang menunjang, disamping reproduksi kerbau belum banyak diketahui. IB pada kerbau pernah juga diperkenalakan di Tanah Toraja Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Jawa Timur.
Hasil evaluasi pelaksanaan IB di Jawa, tahun 1972-1974, yang dilaksanakan tahun 1974, menunjukan anka konsepsi yang dicapai selama dua tahun tersebut sangat rendah yaitu antara 21,3 – 38,92 persen. Dari survei ini disimpulkan juga bahwa titik lemah pelaksaan IB, tidak terletak pada kualitas semen, tidak pula pada keterampilan inseminator, melainkan sebagian besar terletak pada ketidak suburan ternak-ternak betina itu sendiri. Ketidak suburan ini banyak disebabkan oleh kekurangan pakan, kelainan fisiologi anatomi dan kelainan patologik alat kelamin betina serta merajalelanya penyakit kelamin menular. Dengan adanya evaluasi terebut maka perlu pula adanya penyemopurnaan bidang organisasi IB, perbaikan sarana, intensifikasi dan perhatian aspek pakan, manajemen, pengendalian penyakit.
Tujuan, Keuntungan dan Kerugian Insemiasi Buatan
Yang dimaksud dengan Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah suatu cara atau teknik untuk memasukkan mani (spermatozoa atau semen) yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang disebut ‘insemination gun‘.
Tujuan Inseminasi Buatan
a) Memperbaiki mutu genetika ternak;
b) Tidak mengharuskan pejantan unggul untuk dibawa ketempat yang dibutuhkan sehingga mengurangi biaya ;
c) Mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam jangka waktu yang lebih lama;
d) Meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan teratur;
e) Mencegah penularan / penyebaran penyakit kelamin.
Keuntungan IB
a) Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan;
b) Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik;
c) Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding);
d) Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat simpan dalam jangka waktu yang lama;
e) Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun pejantan telah mati;
f) Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar;
g) Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan dengan hubungan kelamin.
Kerugian IB
a) Apabila identifikasi birahi (estrus) dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat maka tidak akan terjadi terjadi kebuntingan;
b) Akan terjadi kesulitan kelahiran (distokia), apabila semen beku yang digunakan berasal dari pejantan dengan breed / turunan yang besar dan diinseminasikan pada sapi betina keturunan / breed kecil;
c) Bisa terjadi kawin sedarah (inbreeding) apabila menggunakan semen beku dari pejantan yang sama dalam jangka waktu yang lama;
d) Dapat menyebabkan menurunnya sifat-sifat genetik yang jelek apabila pejantan donor tidak dipantau sifat genetiknya dengan baik (tidak melalui suatu progeny test).
PENUTUP
Kesimpulan
Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah suatu cara atau teknik untuk memasukkan mani (spermatozoa atau semen) yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang disebut ‘insemination gun‘.
Fertilisasi atau pembuahan adalah proses bertemunya kedua sel gamet (jantan dan betina) atau lebih tepatnya peleburan dua sel gamet dapat berupa nucleus atau sel bernukeleus untuk kemudian membentuk zigot.
Embrio memiliki tahapan pertumbuhan yang sangat kompleks dan terdiri 5 periode, yaitu :
1. Periode persiapan
2. Periode pembuahan
3. Periode pertumbuhan awal
4. Periode antara
5. Periode pertumbuahan akhir
Transfer embrio merupakan bagian dari teknologi reproduksi setelah inseminasi buatan yang tengah dikembangkan dalam dunia peternakan
Teknik transfer embrio menggunakan embrio segar maupun embrio beku pada prinsipnya sama, kecuali pada transfer embrio beku diperlukan thawing embrio dan degliserolisasi untuk menghilangkan cryoprotectant yang ada dalam media embrio beku.
Masalah utama di Indonesia untuk pengembangkan teknologi IVF pada sapi yaitu tersedianya materi ovarium berkualitas baik dan dalam jumlah banyak tidak dapat terpenuhi. Teknik koleksi sel telur dari hewan hidup atau dikenal dengan istilah ‘OPU[ES][SQ] (ovum pick up)diharapkan dapat mengatasi persoalan tersebut terutama untuk program pemuliabiakan karena materi genetik berupa sel telur dapat dikoleksi dari donor hewan terpilih dari anak sapi (juvenile atau heifer) atau induk (cow). Dengan teknik IVF diharapkan kebutuhan masyarakat akan protein hewani dapat dipenuhi dengan cepat dan murah. Selain itu dengan teknik ‘OPU[ES][SQ], mutu ternak dapat diperbaiki lebih cepat karena jarak generasi dapat diperpendek.
Manipulasi genetik dilakukan untuk beberapa tujuan. Pada bidang pertanian, dengan manipulasi genetik dihasilkan hewan yang memiliki karakter yang diharapkan (breeding), pangan yang lebih sehat dihasilkan lebih cepat (kualitas pangan) dan resistensi terhadap infeksi bakteri yang tersebar bebas (resistensi penyakit). Bidang industri, produk baru (kambing yang menghasilkan sutra laba-laba) dapat diciptakan. Dalam bidang riset, memunculkan model riset baru (mencit transgenik) dan evolusi yang dipaksa (organisme baru dengan karakter yang lebih diharapkan).
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, Y. 1994. "Pengaruh Tingkat Dosis Inseminasi Buatan dan Macam Pengecer Semen Terhadap Daya Tunas Tetas Telur Ayam Buras": Skripsi S 1 (Unpublish).Jurusan Biologi. FAMIPA-UNPAK, Bogor.
Baguisi,A., and E.W. Overstrom. 2000. Induced enucleation in nuclear transfer procedures to produce cloned animals. Theriogenology, 53 : 209.
Barke, D.B. Adams And K.J Hutchinson. (Eds.). 1985. University Of New England. Australia.
Beernink F.J. 1985. Technique For Separating X And Y Spermatozoa. In: Foundations Of In Vitro Fertilization. C.M. Fredricks, J.D. Paulson, A.H. Decherney (Eds.). New York, Hemisphere Use Of Fresh And Frozen–Thawed Bull Sperm In Vitro. Theriogenology 35: 204.
Brehm A, K. Ohbo, HR. Scholer. 1997. The carboxy-terminal transactivation domain of Oct 4 acquires cell specificity through the POU domain. Mol Cell Biol 17 : p. 154 –162.
Campbell, K.H., J. McWHir, W.A. Ritchie, and I. Wilmut. 1996. Sheep cloned by nuclear transfer from a cultured cell line. Nature, 380 : 64 – 66.
Collas, P. and F. Barnes. 1994. Transplantasi inti by microinjection of inner cell mass and granulose cell nuclei. Molecular Reproduction and Development. 38 : 264 – 267.
Collman, A. 2000. somatic cell nuclear transfer in mammals : progress and applications.Kloning, 1 : 185 – 200.
Ericson, R.J. Dan R.H. Glass. 1982. Functional Differences Between Sperm Bearing The X- Or Y-Chromosome. In: Prospects For Sexing Mammalian Sperm. R.P. Amann And G.E. Seidel, Jr. (Eds.). Colorado University Asscociated Press. Boulder, Colorado, Usa. Pp. 201-211.
Feng, J., Y. Li, M. Hashad, E. Schurr, P. Gross, L.J. Adams, and J.W. Templeton. 1996.Bovine natural desease resitance associated macrophage protein (NRAMP1) gene.Genome Research, 6 : 956 -964.
Foote, R.H. 1982. Functional Differences Between Sperm Bearing X And Y Chromosome. In: Prospects For Sexing Mamalian Sperm. Bp Amann And G.E. Seidel, Jr (Eds.). Colorado University Asscociated Press. Boulder, Colorado, Usa.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah Swt karena berkat limpahan rahmat dan ridhoNya penulis dapat menyelesaikan tugas paper mata kuliah Teknologi Reproduksi yang berjudul “ Inseminasi Buatan, mulai dari peroses hingga aplikasinya ” ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Pada paper ini akan membahas mengenai teknik dari inseminasi buatan, mulai dari peroses hingga aplikasinya dan segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan teknologi reproduksi ternak secara rinci. Dengan tujuan agar mahasiswa memiliki pengetahuan mengenai penggunaan dan manfaat dalam mempelajari teknologi reproduksi ternak dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari serta mampu mengubah pola pikir mahasiswa untuk mengenal teknologi didalam penerapan ilmu reproduksi ternak.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Teknologi Reproduksi yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam melaksanakan rangkaian proses belajar sehingga penulis merasa sangat terbantu dalam teknis pelaksanaan perkuliahan dan materi yang telah disampaikan.
Penulis menyadari bahwa tugas paper ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat konstuktif sangat penulis harapkan untuk evaluasi dalam pembuatan paper yang berkaitan dengan materi kuliah selanjutnya.
Akhirnya, penulis berharap agar paper ini dapat memberikan manfaat dalam pengembangan wawasan pembaca dan ilmu pengetahuan khususnya mengenai teknologi reproduksi pada ternak.
Jambi, Maret 2012
Penulis
Sabtu, 03 Maret 2012
Laporan Praktikum Dasar Teknologi Hasil Ternak
KATAPENGANTAR
Bismillaahirahmaanirrohim
Allhamdulillah dengan rasa syukur yang tiada tara
atas kehadirat Allah swt dengan rahmat dan inayah-Nya serta
dengan segala daya dan upaya penulis dapat menyelesaikan laporan
semester Pratikum Dasar Teknologi Hasik Ternak (DTHT)
ini dengan baik.
Sejalan dengan itu semua, dengan segala kemampuan
yang ada penulis berusaha di dalam penyusunan laporan ini agar mudah
dipahami dan diterima oleh pembaca. Dengan demikian jika para pembaca
menjumpai susunan kata-kata yang kurang baik, atau menjumpai hal-hal
yang tidak berkenan dihati, seperti di dalam bahasa yang kurang
tepat, sudihlah kiranya memberikan teguran
positif. Insya Allah dengan teguran dan pembentukan dari pembaca,
laporan ini akan lebih sempurna.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kapada pihak-pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian laporan ini. Kepada para pembaca
yang telah memberi teguran penulis ucapkan terima kasih semogga Allah
akan memberikan pahala yang setimpal. Kepada Allah swt penulis mohon
taufiq dan hidayah-Nya, semogga usaha ini senantiasa dalam
keridlaan-Nya.Amien.
Jambi, Mei 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR…………………………………………… i
DAFTAR
ISI……………………………………………………… ii
DAFTAR
TABEL………………………………………………… iii
BAB I. PENDAHULUAN
Latar
Belakang…………………………………………… 1
Tujuan dan
Manfaat……………………………………….. 2
BAB II. TINJAUAN
PUSTAKA……………………………….. 3
BAB III. MATERI DAN METODA
Waktu dan
Tempat………………………………………….. 10
Materi……………………………………………………..... 10
Metoda…………………………………………………. 10
BAB IV. HASIL DAN
PEMBAHASAN…………………………. 15
BAB V. PENUTUP
Kesimpulan………………………………………………….. 28
Saran…………………………………………………………. 28
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………. 29
LAMPIRAN………………………………………………………… 31
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
- Pengawet Alami Pada Telur……………………………………. 15
- Pengawetan Dengan Penggaraman…………………………….. 17
- Pengamatan Cita Rasa………………………………………….. 18
- Pengawetan Dengan Pengemasan (Pendinginan)………………. 19
- Pengemasan Produk Ternak (Suhu Kamar)…………………….. 20
- Pengemasan Produk Ternak (Suhu Rendah)…………………… 21
- Curing…………………………………………………………… 22
- Pengawetan Dengan Fermentasi………………………………… 23
- Pengawetan Dengan Pembekuan……………………………….. 25
- Pengawetan Dengan Penggeringan……………………………... 26
- PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Praktikum Dasar Teknologi Hasil Ternak merupakan suatu rangkaian
kegiatan yang mempelajari dasar-dasar pengelolaan hasil ternak yang
bersifat praktis, tepat guna, tepat sasaran dan aplikatif mulai
produk dipanen, proses penyimpanan hingga sampai produk tersebut
mengalami proses pengolahan. Dalam penerapannya, pengetahuan tentang
Dasar Teknologi Hasil Ternak lebih ditekankan pada berbagai cara
pengawetan yang dilakukan terhadap hasil dan produk ternak dan hasil
olahannya. Baik mekanisme yang terjadi selama pengawetan berlansung,
maupun perubahan yang terjadi pada hasil dan produk olahannya.
Praktikum
tentang Dasar Teknologi Hasil Ternak lebih difokuskan pada produk
ternak (susu, telur dan daging) maupun hasil-hasil olahannya. Sebagai
produk hasil ternak, susu maupun daging secara umum mempunyai sifat
dan kualitas (komposisi nilai gizi) yang relatif berbeda sehingga
penaganannya tidak harus selalu sama. Susu, telur dan daging
merupakan produk yang High Paribsable, yaitu produk yang
mempunyai daya simpan yang terbatas dan produk cepat mengalami
penurunan kualitas atau kerusakan, kondisi ini tidak terlepas dari
kandungan zat makanan atau nilsi gizi yang ada seperti protein,
lemak, vitamin dan mineral serta kandungan air yang cukup tinggi yang
merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan
mikroba sehingga penaganan hasil dan produk ternak sangat diperlukan
demi memperpanjang masa simpan bukan menghidari dari kerusakan karena
pada dasarnya kerusakan hasil dan produk ternak bersifat alamiah
sehingga tidak bisa dihindari.
Tujuan
dan Manfaat
Dalam
praktikum Dasar Teknoli Hasil Ternak (DTHT) ini pada umumnya
bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman tentang
dasar-dasar teknologi pengelolaan hasil dan produk ternak meliputi
cara pengawetan dengan penggaraman, pengawetan dengan pengemasan,
pengawetan dengan Bahan Kimia, pengawetan dengan fermentasi,
pengawetan dengan pembekuan dan pengawetan dengan peneringan serta
penentuan kadar Air.
Sedangkan
manfaat dari praktikum Dasar Teknologi Hasil Ternak ini adalah
mahasiswa dibekali dengan pengalaman dan keterampilan yang praktis
tepat guna, efisien dan aplikatif sehingga pada akhirnya mahasiswa
dapat mempraktekan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
- TINJAUAN PUSTAKA
Pengawetan
Alami Pada Telur
Antonius
(2001) menyatakan bahwa telur adalah sumber protein bermutu tinggi,
kaya akan vitamin dan mineral, protein telur termasuk sempurna
karena menggandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah cukup
seimbang. Asam amino esensial sanagat dibutuhkan oleh manusia, karena
tidak dapat dibuat sendiri oleh tubuh sehingga harus dipenuhi dari
makanan yang dimakan.
Haryoto
(1996) menyatakan bahwa kerusakan isi telur disebabkan adanya C02
yang terkandung didalamnya sudah banyak keluar, sehingga derajat
keasaman meningkat penguapan yang terjadi juga menyebabkan bobot
telur menyusut dan putih telur menjadi encer, masukknya mikroba
kedalam telur melalui pori-pori telur juga akan merusak isi telur.
Penurunan
kesegaran telur terutama disebabkan oleh adanya kontaminasi mikroba
dari luar yang masuk melalui pori-pori kerabang, kemudian merusak
bagian kalaza telur sehingga bagian albumin dan yolk juga ikut rusak.
Untuk mempertahankan kualitas atau mutu dari telur segar dapat
dilakukan dengan menyimpan telur pada lemari es. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soewedo Hadiwiyoto (1983), yang menyatakan bahwa
telur yang segar dapat dipertahankan kesegarannya dalam waktu yang
relatif lama apabila disimpan dalam ruangan yang bersuhu sekitar
0˚C.
Hari Purnomo dan Adiono (1985), yang menyatakan bahwa telur utuh yang
disimpan pada suhu serendah mungkin di atas titik beku telur -2˚C
akan memperlambat hilangnya CO2 dan air di dalam telur
maupun penyebaran air dari putih telur ke kuning telur. Pengendalian
kelembaban udara dalam ruangan yaitu 80-90 % dibutuhkan untuk
memperlambat kehilangan air, kadar karbondioksida kira-kira 3% dalam
udara akan mengurangi kehilangan CO2.
Adanya jamur yang tumbuh pada permukaan telur serta terjadinya
perubahan warna telur disebabkan oleh aktivitas mikroba. Kapang
bersifat aerobik, paling banyak tumbuh pada permukaan bahan pangan
yang tercemar sehingga bahan pangan menjadi lekat, berbulu sebagai
hasil produksi miselium dan spora kapang (Hari Purnomo dan Adiono,
1985).
Pengawetan
Dengan Penggaraman
Menurut Cilly Sirait, 1986 menerangkan bahwa larutan yang banyak
digunakan dalam pengawetan telur adalah larutan garam, larutan kapur,
larutan natrium silikat dan larutan bahan penyamak.
Menurut Winarno (1984) menyatakan bahwa cita rass bahan pangan
terdiri dari 3 komponen, yaitu bau, rasa dan rangsangan dari mulut.
Cita rasa telur asin ayng khas mungkin disebabkan oleh beberapa
factor, yaitu pemecahan senyawa didalam telur atau fermentasi mikroba
selama proses pengasinan.
Menurut
Syamsixman 1982, menyatakan bahwa proses pengasinan dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu merendam telur dalam larutan garam jenuh dan
membungkus telur dengan adonan garam tembahkan pula teh pada
pengasinan telur.
Menurut
Marhijanto (1996) menyatakan bahwa nilai gizi telur dapat
dipertahankan dalam waktu relatife lama, syarat-syarat telur yang
akan diasinkan adalah telur masih segar dan baru, telur sudah
dibersihkan dari kotoran, kulit telur masih utuh tidak retak, sebelum
diasinkan telur harus diamplas untuk mempermudah proses pengasinan.
Menurut
Rasyaf Muh (1983) menyatakan bahwa telur asin adalah telur itik yang
diolah dalam keadaan utuh, dimana kandungan garam didalam telur dapat
menghambat perkembangan organism dan sekaligus memberikan aroma yang
khas, sehingga telur dapat disimpan dalam waktu relative lama.
Pengawetan
Dengan Pengemasan
Sebagaimana diterangkan oleh Soeparno 1994, bahwa penyimpanan daging
pada suhu dingin meskipun dalam waktu singkat diperlukan untuk
mengendalikan kerusakan dari perlakuan mekroorganisme perusak, metode
yang banyak digunakan untuk memperpanjang masa simpan daging yaitu
dengan pendinginan dengan suhu sampai 5ºC.
Kadar air daging sebesar 75%, daya mengikat air dari daging mempunyai
pengaruh terhadap keempukan daging, kadar air dan warna. Penurunan
daya mengikat air daging dapat terjadi saat pemanasan di atas 50ºC
dan diikuti dengan penurunan kadar air daging (Bina Produksi
Peternakan, 1993).
Secara umum tujuan dari pengemasan adalah mempertahankan kualitas :
yakni melindungi kontaminasi dari mikroorganisme, kotoran dan
serangga, melindungi kandungan air dan lemak, yaitu agar kandungan
air bahan pangan tetap konstan, mencegah masuknya bau dan gas
sehingga bau/aroma produk dapat dipertahankan, melindungi dari
tekanan dan benturan. Namun pengemasan pada daging segar memiliki
tujuan utama yakni untuk mengurangi kehilangan air atau susut bobot,
mencegah masuknya bau dari luar dan membatasi jumlah oksigen (Hari
Purnomo dan Adiono, 1985).
Menurut SoewedoHadiwiyoto (1983) menyatakan bahwa pesteurisasi adalah
proses pemanasansetiap komponen dalam susu pada suhu 62ºC selama 30
menit, atau pemanasan suhu pada suhu 72ºC selama 15 detik. Adapun
tujuan dari proses pasteurisasi susu adalah :
- Untuk membunuh bakteri dan patogen terutama mycrobacterium tuberculosis
- Untuk mengurangi populasi bacteria dalam susu
- Memperpanjang daya simpan bahan
- Dapat memberikan cita rasa yang lebih menarik konsumen.
- Pada pasteurisasi, proses ini dapat meng-inaktifkan fosfatase dan katalase, yaitu enzim-enzim yang membuat susu cepat rusak.
Susu yang segar memiliki bau yang khas serta warna yang normal mulai
dari warna putih kebiru-biruan sampai kuning kecoklatan. Warna putih
pada susu, serta penampakannya adalah akibat penyebaran
butiran-butiran koloid lemak selain itu susu segar juga memiliki cita
rasa asli susu yang sangat sulit dijelaskan , tetapi yang pasti
menyenangkan dan agak manis. Rasa manis berasal dari laktosa, rasa
asin berasal dari klorida, sitrat, dan garam mineral (Hari Purnomo
dan Adiono, 1985).
Curing
(Pengawetan Dengan Bahan Kimia)
Menurut Soewedo Hadiwiyoto (1983), menyatakan bahwa ada dua metoda
curing, yaitu curing secara basah dan curing secara kering.
Warna merah
daging yang lebih bagus dibanding daging yang tidak dicuring.
Daging-daging yang dicuring akan lebih awet dibandingkan dengan
daging tanpa pengolahan. Karena proses curing ini dapat menghambat
pertumbuhan bakteri. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrie (1995)
yang menyatakan bahwa fungsi nitrit dalam curing yaitu dapat
menghambat pertumbuhan bakteri.
Nitrit ini biasanya digunakan dalam curing daging yang mengandalkan
kekuatan garam sebagai pengawet. Sesuai juga dengan pendapat
Anomymous (2006) yang menyatakan bahwa tujuan dari curing ini yaitu
untuk mempertahankan warna merah daging ataupun ikan, memberi rasa
pada daging dan ikan, dan sebagai pengawetan.
Pengawetan
Dengan Fermentasi
Pengawetan
makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan memiliki
daya simpan yang lama dan sifat-sifat fisik dan kimia makanan.
Pengawetan makanan harus memperhatikan jenis bahan makanan yang
diawetkan, keadaan bahan makanan, cara pengawetan, dan daya tarik
produk pengawetan makanan
(http://inforet.Wordpress.com/2007/09/17/Pengawet
makanan-2/).
Menurut
Hardiwiyanto (1983) menyatakan bahwa ada beberapa tujuan dalam
pengawetan makanan : bahan makanan dapat dikonsumsi kapan saja dan
dimana saja, namun dengan batas kadaluarsa, kandungan bahan kimia dan
bahan makanan dapat dipertahankan, bahan-bahan yang dikehendaki
seperti racun alami dan sebagainya dapat dinetralkan atau
disingkirkan dari bahan makanan.
Menurut
Robert (1989) menyatakan bahwa susu fermentasi diketahui mengandung
bakteri asam laktat yang mampu meningkatkan kerja enzim galaktosidae
yang memudahkan pencernaan laktosa dalam usus, meningkatkan kualitas
nutrisi, menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah kanker dan
mengatasi diare.
Menurut
penelitian para ahli pada fermentasi susu segar yang menggunakan
lactobacillus terdapat beberapa manfaat : susu fermentasai memiliki
beberpa kandungan asam amino amino bebas lebih tinggi disbanding
susu segarnya. Pemberian susu fermentasi pada hewan dapat
meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan pada berbagai jenis
ternak dibandingkan dengan pemberian susu tanpa fermentasi,
ketersedian kalsium, seng, zat besi, mangan, tembaga dan fosfor pada
susu fermentasi lebih tinggi dibandingkan dengan susu segar.
(http://Portuna-celluler-blogspot.com/2010/02/Fernentasi-susu-html).
Menurut
Purnomo 919890 menyatakan bahwa kerusakan atau penyimpanan yang
terjadi pada produk ternak tidak berlangsung secara serentak, akan
tetapi terjadi secar bertahap/dinamis. Produk mengalami perubahan
kuantitas, sebagai akibat terjadinya penguapan, absorbs ataupun
penyerapan bau yang tidak diinginkan.
Pengawetan
Dengan Pembekuan
Bahkan antara temperatur suhu kamar dan suhu refrigerator juga
berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena banyakya kadar air yang
terkandung didalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonymous
(1996), ytang menyatakan bahwa suatu bahan pangan yang banyak
mengandung air yang banyak ataupun sedikit akan mengalami perbedaan
berat bahan tersebut.
Antara daging yang disimpan disuhu kamar dan suhu refrigerator juga
bebeda dimana pada suhu refrigerator berat drippnya lebih banyak dari
pada disuhu kamar. Hal ini terjadi karena dalam suhu kamar bahan akan
kering karena adanya penguapan, sedangkan pada suhu refrigerator akan
terjadi pembekuan yang dapat menampung air. Hal ini sesuai dengan
pendapat Lawrie (1997), yang menyatakan bahwa pada ruangna terbuka
bahan akan mengalami perubahan yang berupa adanya penguaoan yang
dapat menyebabkan kekeringn pada bahan tersebut.
Pengawetan
Dengan Pengeringan
Menurut
Soewodo (1983) menyatakan bahwa pengeringan adalah suatu cara atau
proses untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu
bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang dikandungnya dengan
menggunakan energy panas, biasanya kandungan air bahan dikuranngi
sampai batas dimana mikroba tidak tidak dapat tumbuh lagi didalamnya.
Menurut
Winarno (1987)menyatakan bahwa terdapat dua metode pengeringan, yaitu
dengan metode sun drying dan metode artificial drying. Sun drying,
yaitu suatu proses pengeringan dengan menggunakan panas matahari.
Sedangkan artificial drying, yaitu suatu proses pengeringan dengan
menggunakan panas yang berasal dari suatu mesin pengering. Keuntungan
suhu dan waktu pengeringan dapat diatur serta kebersihan pangan
lebih terjamin.
Menurut
Suetarno (1992) menyatakan bahwa pengeringan dengan pemanas buatan
mempunyai beberapa tipe alat dimana pindah panas berlansung secara
konduksi atau konversi, mesakipun ada beberapa yang dapat dilakukan
dengan cara radiasi. Alat pengering dengan menggunkan pindah panas
secara konversi pada umumnya menggunkan udara panas yang dialirkan,
sehingga energy panas merata keseluruh bahan.
Menurut
Robert (1982) menyatakan bahwa tujuan pengeringan untuk mengurangi
kadar air bahan sampel batas dimana perkembangan mikroorganisme dan
kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukkan terhambat.
Menurut
Handiwiyoto, Soeswodo (1983) menyatkan bahwa pengeringa dengan
menggunakan sinar matahari sebaiknay dilakukan ditempat yang udaranya
kering dan suhu nya lebih dari 100oF. Pengeringan dengan
metode ini memerlukan waktu 3-4 hari. Pengeringan dengan menggunakan
oven dapat dilakukan dengan mengatur panas, kelembaban dan kadar air.
Waktu yang diperlukan 5-12 jam agar bahan menjadi kering, temperature
oven diatas 1400F.
III.
MATERI DAN METODA
Waktu
dan Tempat
Praktikum Dasar Teknologi Hasil Ternak ini dilaksanakan setiap hari
senin tepatnya pukul 12.00- 14.00 WIB yang dimulai dari Tanggal 11
April 2011- 2 mei 2011 bertempat digedung C Laboratorium Fakultas
Peternakan Universitas Jambi.
Materi
Adapun
alat-alat dan bahan yang digunakan pada pratikum Dasar Teknologi
Hasil Ternak yaitu : Telut ayam ras, piring, telur itik 5 butir,
garam halus, kapur sirih, air matang yang telah didinginkan, amplas,
sabut, stoples atau ember kecil, serbuk bbatu bata, abu gosok,
larutan the, daging, kemasan plastic poli etilen, pisau,
refrigerator, sealer (perekat plastic), susu pasteurisasi, gelas atau
botol, panci, kompor, daging sapi/kerbau, garam dan gula halus, air,
sodium nitrat, timbanagn, toples, susu segar, bakteri stater
Lactobacillus casei atau yakult, susu bubuk 2 sendok, gula atau
sirup, panic email, kompor, alat pengaduk, daging ayam, freezer,
thermometer, telenan, plastic, timbangan ohaous, daging ayam 300
gram, bawaang pputih 6 gram, ketumbar 9 gram, gula merah 90 gram,
garam 9 gram, asam jawa 3 gram, food processor, baskom, plastic, daun
pisang, dan oven.
Metoda
Cara
Kerja Pengawetan Alami Pada Telur
Siapakan
3 buttir telur dan bersihkan dari kotoran yang ada pada permukaan
kerabang, masing-massing telur beri tanda sesuai dengan perlakuan,
yaitu : T-1 : biarkan telur dalam keadaan mentah an utuh, T-2 :
pecahkan telur dan letakan dalam piring, T-3 : rebus elur sampai
masak (10 menit), kemudian kupas dan letakan dalam piring, amati
semua perlakuan tersebut sehari 2 kali selam 5 hari.
Cara
Kerja Pengawetan Dengan Penggaraman
Pembuatan
Telur Asin Dengan Media cair (Cara Basah)
Cuci
telur dan gosok dengan sabut, kemudian dilap dengan kain kering,
amplas kerabang telur agar lebih mudah dan lap dengan kain, rendam
dalam larutan garam (air : garam = 3: 1) yang ditmbah sedikit air
kapur selama 8 – 10 hari dalam wadah stoples, kemudian rebus hingga
masak.
Pembuatan
Telur Asin Dengan Media Pembalutan (Cara Kering)
Bersihakan
telur yang akan diasinkan, buat larutan the (air : the =1 liter p; 60
gram the), buat campuran antara garam halus, serbuk batu bata dan abu
gososk dengan perbandingan 4 : 3 : 3, buat campuran tersebut menjadi
adonan pasta dengan menambah larutan teh, lapisi/bungkus telur dengan
adonan dan simpan 8 – 10 hari, kemudian rebus hingga masak,
bandingkan hasilnya (bau, warna, tekstur dan rasa) dengan cara bash
dan bahas.
Cara
Kerja Pengawetan Dengan Pengemasan
Pengemasan
dengan Pendinginan
Sipakan 2 potong daging dengan ukuran masing-masing 5×10 cm, simpan
daging dalam refrigerator pada suhu rendah (1-100C) dengan
ketentuan : Daging 1 : Masukkan daging kedalam kantong plastic Poli
Etilen dan rekatkan, Daging 2 : Biarkan daging dlam keadaan terbuka
dalam refrigerator, amati perubahan ynag terjadi pada permukaan
daging setiap hari selama 5 hari, setelah hari ke 5, keluarkan daging
tersebut dari refrigerator selanjutnya ukur dan analisa kadar air
masing-masing daging tersebut.
Pengemasan
Produk Ternak
Siapkan
susu segar sebanyak 0.5 liter, pasteurisasi susu tersebut pada suhu
720C selama 15 detik, masukkan susu tersebut kedalam 4
botol masing-massing berisi 125 ml, masing-masing 2 botol disimpan
disuhu kamar dan suhu rendah (refrigerator), pada masing-masing
kondisi penyimpanan susu dalam botol dibiarkan terbuka dan yang lain
tertutup rapat, amati perubahan yang terjad pada masing-massing susu
tersebut setiap 8 jam selama 2 hari.
Cara Kerja Curing (Pengawetan Dengan Bahan Kimia)
Siapkan 2 potong daging dengan bobot masing-masing 100 gram, buat
larutan yang terdiri atas 7.26 gram garam, 2.70gram gula, 0.23 gram
sodium nitrat dan 45.5 ml air, lalu buat larutan lain tanpa sodium
nitrat, selanjutnya masing-masing larutan dimasukkan daging, simpan
didalam refrigrator selama 7 hari, kemudian amati perubahan yang
terjadi.
Cara Kerja Pengawetan Dengan Fermentasi
Siapkan 1 liter susu lalu panaskan(pasteurisasi) sampai mendidih,
tambahkan susu bubuk sebanyak 5 % dari berat susu, sedikit demi
sedikit sambil terus diaduk, kemmudian dinginkan sampai suhu 45 C
(agak hangat) selanjutnya susu tersebut dibagi menjadi 3 (tiga)
bagian : a. Susu YK-1 ditambahkan starter (yakult) 2 sendok
teh, b. Susu YK-2 ditambahkan starter(yakult) 3 sendok the, c.
Susu Yk-3 ditambahkan starter (yakult) 4 sendok teh, susu yang
telah dicampur dengan yakult, kemudian dimasukkan kedalam botol kecil
yang tertutup rapat, biarkan pada suhu kamar (25-270C)
selama 12-14 jam, kemudian amati perubahan selam proses fermentasi
dan lakukan uji organoleptik.
Cara Kerja Pengawetan Dengan Pembekuan
Siapkan karkas ayam dan belah menjadi 2 bagian , yaitu karkas kiri
dan kanan, masing-masing pisahkan berdasarkan irisan karkas yang
meliputi: irisan punggung, sayap dada, paha atas dan paha bawah, lalu
timbang masing-masing irisan karkas dan selanjutny masukkan dalam
kemasan plastik dan setelah diberi tanda lalu masukkan semua kemasan
karkas kedalam frezzer selama 48 jam, setelah itu cairkan (thawing)
kemasan karkas dengan ketentuan: irisan karkas bagian kiri di thawing
pada suhu kamar sampai irisan karkas lunak dan karkas bagian kanan di
thawing pada refrigrator selam 2 jam dan selanjutnya thawing pada
suhu kamar sampai irisan lunak, selanjutnya keluarkan irisan karkas
dari kemasan plastik dan timbang lalu hitung driip dari masing-masing
irisan karkas dengan rumus :
Selisih berat sampel
% dripp = -------------------------- x 100 %
Berat awal sampel
Cara Kerja Pengawetan Dengan Pengeringan
Daging dicacah, selanjutnya dihaluskan dengan food processor,
haluskan semua bumbu (bawang putih, ketumbar, gula merah, garam, asam
jawa) kemudian dicampur dengan daging ayam dalam food Processor,
buat lapisan tipis (sekitar 3-5 mm) adonan yang sudah siap letakkan
diatas daun pisang, kemudian keringkan dalan oven dengan 2 perlakuan
yakni: dendeng 1 dikeringkan dalam oven selama 36 jam pada suhu 600C
dan dendeng 2 dikeringkan dalam oven selama 72 jam pada suhu 400
C.
Adapun cara kerja penghitungan kadar air dendeng sebagai berikut :
Panaskan botol timbang dalam oven pada suhu 1050C selama ½
jam, kemudian masukkan ke dalam desikator, tutup rapat desikator dan
selanjutnya timbang dan catat berat botol (W), masukkan sampel
seperlunya kedalam botol timbang, kemudian catat botol serta sampel
(W1), masukkan dan panaskan botol timbang dalam oven pada suhu 1050C
selam 24 jam, kemudaian angkat dan dinginkan dalam eksikator dan
selanjutnya timbang (W2) dan kadar air dendeng dapat dihitung dengan
runus:
100(W1-W2)
Kadar
air bahan = ------------------
(W2 - W)
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengawetan
Alami Pada Telur
Telur
merupakan salah satu hasil ternak yang dihasilkan oleh ternak unggas,
kualitas telur ditentukan oleh 2 faktor, yaitu kulitas luarnya berupa
kulit cangkang dan isi telur. Kualitas luar ini bisa berupa bentuk,
warna, keutuhan dan kebersihan kulit cangkang. Sedangkan yang
berkaitan dengan isi telur meliputi kekentalan putih telur, warna dan
posisi telur, serta ada tidaknya noda-noda pada putih telur, dan
kuning telur.
Telur
yang segar baik ditandai oleh bentuk kulitnya yang bagus, cukup
tebal, tidak cacat (retak), warnanya bersih, rongga udara dalam
telur kecil, posisi kuning telur ditengah-tengah, dan tidak terdapat
bercak atau noda darah.
Menurut
Antonius (2001) menyatakan bahwa telur adalah sumber protein bermutu
tinggi, kaya akan vitamin dan mineral, protein telur termasuk
sempurna karena menggandung semua jenis asam amino esensial dalam
jumlah cukup seimbang. Asam amino esensial sangat dibutuhkan oleh
manusia, karena tidak dapat dibuat sendiri oleh tubuh sehingga harus
dipenuhi dari makanan yang dimakan.
Tabel 1. Hasil
Pengamatan Pengawetan Alami Pada Telur.
Peubah
|
Prlkn
|
Pengamatan hari ke :
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
||
Bau
|
T-1
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
T-2
|
Normal
|
Busuk
|
Busuk
|
Busuk
|
Busuk
|
Busuk
|
Busuk
|
|
T-3
|
Normal
|
sdkit Busuk
|
Busuk
|
Busuk
|
Busuk
|
Busuk
|
Busuk
|
|
T-4
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
Warna
|
T-1
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
T-2
|
Normal
|
Merah
|
Merah
|
Merah
|
Merah
|
Merah
|
Merah
|
|
T-3
|
Normal
|
Pucat
|
Pucat
|
Pucat
|
Pucat
|
Pucat
|
Pucat
|
|
T-4
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
Viscositas
|
T-1
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
T-2
|
Normal
|
Kental
|
Kental
|
Kental
|
Kental
|
Kental
|
Kental
|
|
T-3
|
Normal
|
Kenyal
|
Kenyal
|
Kenyal
|
Kenyal
|
Kenyal
|
Kenyal
|
|
T-4
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Pengamatan
yang dilakukan pada pengawetan alami pada telur bertujuan untuk
mengetahui kamampuan pengawetan alami yang ada pada telur dan untuk
mengetahui daya simpan telur pada keadaan mentah dan setelah diolah.
Dan setelah proses pengamatan berlangsug ternyata kemampuan
pengawetan pada telur tidak mampu bertahan lama semua hanya
berlangsung selama ± 2 hari. Setelah itu telur akan mengalami
perubahan baik bau, dan perubahan warna terjadi perubahan warna
telur tersebut dan dibuang.
Pengamatan
pada T-1 ternyata telur T-1 masih bisa bertahann lama ± 2-3 minggu
karena telur mempunyai kerabang yang berperan untuk melindungi telur
dari tekanan fisik dari luar, pengamatan pada T-2 setelah diamati
ternyata daya simpan telur T-2 tidak bisa bertahan lama karena telur
mengalami penguapan karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O)
dari alam, dan penagamatan pada telur T-3 juga tidak tahan akan daya
simpan karena kerabang telur tidak melindungi telur sehingga telur
cepat mengalami kerusakan.
Menurut Haryoto (1996) menyatakan bahwa kerusakan isi telur
disebabkan adanya C02 yang terkandung didalamnya sudah banyak keluar,
sehingga derajat keasaman meningkat penguapan yang terjadi juga
menyebabkan bobot telur menyusut dan putih telur menjadi encer,
masukknya mikroba kedalam telur melalui pori-pori telur juga akan
merusak isi telur.
Pengawetan
Dengan Penggaraman
Pembuatan telur asin dengan media basah (cair) setelah dilakukan
pengamatan ternyata peran garam dalam pengawetan lebih asin karena
terjadinya penetrasi melalui kerabang telur yang tipis sehingga garam
mudah masuk kedalam sehingga mudah terjadi penetrasi. Pengamatan
selama ± 8 hari memberikan hasil yang cukup memuaskan karena setelah
dimasak rasa asin pada telur yang telah diasinkan terasa asin.
Menurut Marhijanto (1996) menyatakan bahwa nilai gizi telur dapat
dipertahankan dalam waktu relatife lama, syarat-syarat telur yang
akan diasinkan adalah telur masih segar dan baru, telur sudah
dibersihkan dari kotoran, kulit telur masih utuh tidak retak, sebelum
diasinkan telur harus diamplas untuk mempermudah proses pengasinan.
Tabel 2.
Pengamatan Pengawetan dengan Pengaraman
Penggaraman
|
Unit Telur
|
Bobot Awal
|
Bobot Akhir (Gr)
|
Penyusutan
|
Volume
|
Berat jenis
|
Basah
|
1
|
69,263
|
61,371
|
0,78
|
|
Basah
|
2
|
68,697
|
64,333
|
1,64
|
|
Basah
|
|
3
|
57,705
|
56,751
|
0,96
|
|
Basah
|
|
Kering
|
1
|
79,799
|
69,143
|
0,74
|
|
Kering
|
2
|
63,33
|
62,271
|
0,73
|
|
Kering
|
|
3
|
61,073
|
60,168
|
0,108
|
|
Kering
|
Pada pengamatan dengan pembuatan telur asin dengan media pembalut
(kering) adalah pengamatan yang dilakukan selama 8 hari hasilnya juga
cukup memuaskan karena juga memberikan rasa asin melalui pengawetan
penggaraman dengan media pembalut (kering). Dalam kondisi bau
kualitas telur tidak banyak mempengaruhi kualitas bagian dalamnya.
Tabel 3.
Pengamatan Cita Rasa dengan Media Basah dan Kering
Penggaraman
|
Nilai Hedonik
|
Bau
|
Warna
|
Tekstur
|
Rasa
|
||||
Alb
|
Yolk
|
Alb
|
Yolk
|
Alb
|
Yolk
|
Alb
|
Yolk
|
||
Basah
|
Sangat Suka
|
√
|
|
|
√
|
|
|
√
|
√
|
Suka
|
|
√
|
√
|
|
√
|
√
|
|
|
|
Biasa/Netral
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak Suka
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sangat Tidak Suka
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kering
|
Sangat Suka
|
|
|
|
|
|
|
√
|
√
|
Suka
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|
|
|
Biasa/Netral
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak Suka
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sangat Tidak Suka
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Setelah telur direbus pada proses pengamatan telur dengan media
pembalut (kering) hasil yang didapat menurut bau, warna, tekstur dan
rasa semua berbeda-beda baik proses pengawetan dengan media basah dan
kering. Baunya juga berbeda, warnanya hampir sama baik secara basah
dan kering, tekstur mendekati kata sama, dan rasa pada pengawetan
media basah rasa asinnya lebih terasa karena terjadi proses penetrasi
yang dapat menyerap garam lebih banyak sehingga rasanya lebih asin
dibanding dengan pengawetan secara pembalut (kering).
Menurut
Rasyaf Muh (1983) menyatakan bahwa telur asin adalah telur itik yang
diolah dalam keadaan utuh, dimana kandungan garam didalam telur dapat
menghambat perkembangan organisme dan sekaligus memberikan aroma yang
khas, sehingga telur dapat disimpan dalam waktu relative lama.
Pengawetan
Dengan Pengemasan
Hasil
yang didapat setelah melakukan pengamatan terhadap daging yang
diawetak yaitu :
Tabel
4. Pengemasan Dengan
Pendinginan
Pengamatan
|
Daging
|
Pengamatan pada hari ke
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
Warna
|
I
|
Merah hati
|
Merah
|
Merah pucat
|
Kehitaman
|
Hitam
|
II
|
Merah hati
|
Merah kehitaman
|
Hitam
|
Hitam
|
Hitam
|
|
Tekstur
|
I
|
Normal
|
Keras
|
Keras
|
Lembek
|
Lembek
|
II
|
Normal
|
Keras
|
Keras
|
Keras
|
Keras
|
|
Konsistensi
|
I
|
Padat
|
Kasar
|
Liat
|
Liat
|
Liat
|
II
|
Padat
|
Liat
|
Liat
|
Liat
|
Kasar
|
|
Kadar air
|
I
|
Normal
|
Banyak
|
Banyak
|
Banyak
|
Agak sedikit
|
II
|
Normal
|
Sedikit
|
Sedikit
|
Kering
|
Kering
|
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pada pengemasan dengan
pendinginan pada daging semakin hari mengalami penurunan kualitas.
Seperti pada warna semakin hari semakin hitam begitu juga yang
terjadi pada tekstur, konsistensi, dan kadar air semakin hari juga
semakin sedikit. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi dan tempat
penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Robert (1999), yang
menyatakan bahwa penyimpanan daging pada suhu dingin dapat
menyebabkan kerusakan apabila terlalu lama disimpan.
Kondisi pada saat penyimpanan juga sangan berpengaruh, selain dapat
menghambat perubahan juga dapat mempertahankan kualitas produk. Yang
perli diperhatikan yaitu suhu, kelembaban serta kandungan oksigen.
Tetapi lama kelamaan bahan akan mengalami kerusakan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Hadi wiyoto (1997), yang menyatakan bahwa penyimpanan
yang baik tidak bisa menjamin kualitas bahan karena adanya sifat
alami bahan yang dapat mengalami kerusakan walupun sudah ada proses
pengawetan yang bertujuan untuk mencegah proses kerusakan.
Tabel 5. Pengemasan
Produk Kernak
Suhu Kamar
Pengamatan
|
Waktu (jam)
|
Bentuk penyimpanan
|
Hari ke
|
|
1
|
2
|
|||
Warna
|
8
|
Terbuka
|
Krem susu
|
Putih susu
|
Tertutup
|
Putih susu
|
Putih susu
|
||
16
|
Terbuka
|
Terdapat lapisan dan endapan
|
Putih susu
|
|
Tertutup
|
Terdapat lapisan dan endapan
|
Putih susu
|
||
24
|
Terbuka
|
Krem susu
|
Krem susu
|
|
Tertutup
|
Krem susu
|
Putih susu
|
||
Bau
|
8
|
Terbuka
|
Busuk
|
Bau basi
|
Tertutup
|
Asam
|
Bau basi
|
||
16
|
Terbuka
|
Busuk
|
Busuk
|
|
Tertutup
|
Bau susu basi
|
Bau basi
|
||
24
|
Terbuka
|
Busuk
|
Busuk
|
|
Tertutup
|
Busuk
|
Busuk
|
||
Tekstur
|
8
|
Terbuka
|
Terjadi pemisahan antara skim dan
padatan
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
Tertutup
|
Lebih banyak skim
|
Banyak skim
|
||
16
|
Terbuka
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
|
Tertutup
|
Banyak skim mengental
|
Banyak skim kental
|
||
24
|
Terbuka
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
|
Tertutup
|
Lebih mengental
|
Mengental
|
||
Konsistensi
|
8
|
Terbuka
|
Menggumpal
|
Menggumpal
|
Tertutup
|
Menyebar
|
Menyebar
|
||
16
|
Terbuka
|
Menggumpal
|
Menggumpal
|
|
Tertutup
|
Menyebar
|
Menyebar
|
||
24
|
Terbuka
|
Menggumpal
|
Kental
|
|
Tertutup
|
menyebar
|
Lebih kental
|
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa susu
pasteurisasi yang diletakan pada suhu kamar memiliki warna putih
susu. Dari segi bau susu yang tertutup mudah cepat basi dubandingkan
drengan yang terbuka. Susu yang dipasteurisasi akan lebih tahan lama
dibandingkan susu yang segar. Hal ini sesuai dengan pendapat Piliang
(1995), yang menyatakan bahwa cara mempertahankan klualitas susu
dari serangan mikroba yaitu dengan cara dipanaskan atau pasteurisasi
pada suhu 72 derjat celcius selama 15 detik atau 65 derajat celcius
selam 30 menit.
Tabel 6. Suhu Rendah
(Refrigerator)
Pengamatan
|
Waktu (jam)
|
Bentuk penyimpanan
|
Hari ke
|
|
1
|
2
|
|||
Warna
|
8
|
Terbuka
|
Susu
|
Putih susu
|
Tertutup
|
Susu
|
Putih susu
|
||
16
|
Terbuka
|
Krem
|
Putih susu
|
|
Tertutup
|
Krem
|
Putih susu
|
||
24
|
Terbuka
|
Putih susu
|
Putih susu
|
|
Tertutup
|
Putih susu
|
Putih susu
|
||
Bau
|
8
|
Terbuka
|
Bau susu
|
Bau susu
|
Tertutup
|
Sedikit amis
|
Amis
|
||
16
|
Terbuka
|
Bau susu
|
Bau susu
|
|
Tertutup
|
Sedikit amis
|
Amis
|
||
24
|
Terbuka
|
Bau susu
|
Amis
|
|
Tertutup
|
amis
|
Amis
|
||
Tekstur
|
8
|
Terbuka
|
Cair
|
Cair
|
Tertutup
|
Sedikit padat
|
Padat
|
||
16
|
Terbuka
|
Cair
|
Cair
|
|
Tertutup
|
Sedikit padat
|
Padat
|
||
24
|
Terbuka
|
Cair
|
Cair
|
|
Tertutup
|
Padat
|
Padat
|
||
Konsistensi
|
8
|
Terbuka
|
Ada pembatas minyak
|
Lebih banyak
|
Tertutup
|
Sedikit
|
Banyak
|
||
16
|
Terbuka
|
Sedikit
|
Banyak
|
|
Tertutup
|
Sedikit
|
Banyak
|
||
24
|
Terbuka
|
Sedikit
|
Banyak
|
|
Tertutup
|
Sedikit
|
Banyak
|
Dari
tabel tersebut dapat diketahui bahwa susu yang disimoan pada suhu
kamar akan mudah basi dan terkontaminasi sedangkan pada suhu
refrigerator dapat memperlambat kerusakan meskipun kecil dan
penggumpalan atau pengentalan merupakn salah satu sifat susu yang
khas, penggumpalan dapat disebabkan oleh kegiatan enzim dan
penambahan asam. Hal ini sesuai dengan pendapat Bambang, S (1997),
yang menyatakan bahwa pengawetan atau penyimpanan
pada suhu rendah lebih tahan lama dari pada disuhu kamar karena pada
suhu rendah pertumbuhan mikroba akan terhambat.
Curing
(Pengawetan Dengan Bahan Kimia)
Menurut Soewedo Hadiwiyoto (1983), menyatakan bahwa ada dua metoda
curing, yaitu curing secara basah dan curing secara kering.
Warna merah
daging yang lebih bagus dibanding daging yang tidak dicuring.
Tabel
7. Curing
Perlakuan
Daging
|
Perubahan Warna Pada Hari
Pengamatan ke
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|
Tanpa Nitrat
|
Merah Pucat
|
Merah
|
-
|
-
|
Merah
|
Diberi Nitrat
|
Merah Hati
|
Merah Pucat
|
-
|
-
|
Hitam Pucat
|
Dari data diatas dapat diketahui pada hari kelima, daging tanpa
nitrat masih berwarna merah, sedangkan pada daging yang diberi nitrat
berwarna kehitaman pucat. Padahal telah diketahui bahwa daging yang
dicuring (dengan nitrat) warna merah daging akan tetap bertahan. Hal
tersebut tidak sesuai dengan pendapat Winarto (1996) yang menyatakan
bahwa daging yang dicuring dengan penambahan nitrat akan menghasilkan
warna merah daging yang lebih bagus dibanding daging yang tidak
dicuring.
Daging-daging yang dicuring akan lebih awet dibandingkan dengan
daging tanpa pengolahan. Karena proses curing ini dapat menghambat
pertumbuhan bakteri. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrie (1995)
yang menyatakan bahwa fungsi nitrit dalam curing yaitu dapat
menghambat pertumbuhan bakteri. Nitrit ini biasanya digunakan dalam
curing daging yang mengandalkan kekuatan garam sebagai pengawet.
Sesuai juga dengan pendapat Anomymous (2006) yang menyatakan bahwa
tujuan dari curing ini yaitu untuk mempertahankan warna merah daging
ataupun ikan, memberi rasa pada daging dan ikan, dan sebagai
pengawetan.
Pengawetan
Dengan Fermentasi
Pengawetan
makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makananmemiliki daya
simpan yang lama dan untuk mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia
makanan. Pengawetan makanan harus memperhatikan jenis bahan makanan
yang diawetkan, keadaan bahan makanan, cara pengawetan dan daya tarik
produk pengawetan makanan.
Susu
fermentasi diketahui mengandung bakteri asam laktat yang mampu
meningkatkan kerja enzim galaktosa yang memudahkan pencernaan laktosa
dalam usus.
Tabel
8. Pengawetan Dengan Fermentasi
Pengamatan
|
Perlakuan
|
||
YK-I
|
YK-II
|
YK-III
|
|
Warna
|
Lapisan atas putih, bawahnya kuning
|
Bening
|
Agak kuning
|
Bau/aroma
|
Agak asam
|
Susu asam
|
Bau asam menyengat
|
Kekentalan
|
Bagian atas kental, bawah cair
|
Bagian atas ada sedikit gumpalan
|
Bagian atas kental
|
Rasa
|
Kurang asam
|
Asam
|
Asam
|
Dari
data diatas dapat diketahui bahwa YK-III merupakan hasil fermentasi
yang baik jika dibandingkan dengan susu YK-I dan YK-II, karena
mempunyai warna agak kuning, bau asam yang menyengat dan rasa asam.
Hal tersebut karena pada susu YK-III ditambahkan dengan 4 sendok teh
yakult, sehingga bakteri Lactobacillus
casei yang ditambah kedalam susu lebih
banyak dibandingkan dengan yakult yang ditambahkan pada YK-1 dan
YK-II. Sehingga pada YK-III akan menghasilkan hasil fermentasi yang
lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Buckle (1995) yang
menyatakan bahwa fermentasi oleh bakteri akan menghasilkan asam.
Produk yang difermentasi akan lebih bagus dibandingkan dengan produk
yang tidak difermentasi.
Susu
yang difermentasi ini akan lebih tahan lama, karena peranan
Lactobacillus casei dalam
fermentasi yaitu untuk menekan pertumbuhan baketri phatogen. Hal ini
sesuai dengan pendapat Gaman (1996) yang menyatakan bahwa bakteri
Lactobacillus casei dalam
proses fermentasi yaitu menekan pertumbuhan bakteri phatogen,
sehingga produk akan tahan lama, membantu proses pencernaan dalam
tubuh dan akan menghasilkan rasa asam pada produk.
Pengawetan
Dengan Pembekuan
Hasil yang didapat pada praktikum pengawetan dengan pembekuan adalah
sebagai berikut :
Tabel
9. Pengawetan Dengan Pembekuan
Irisan/bagian karkas ayam
|
Temperatur Thawing
|
Bobot irisan karkas (gr)
|
% Dripp
|
|
Awal
|
Akhir
|
|||
Sayap
|
Suhu kamar
|
39
|
39,48
|
1,.23
|
Refrigerator
|
56,9
|
57
|
0,17
|
|
Punggung
|
Suhu kamar
|
64,7
|
65,02
|
0,4
|
Refrigerator
|
65,7
|
64
|
-2,58
|
|
Dada
|
Suhu kamar
|
68,6
|
67
|
-2,33
|
Refrigerator
|
122
|
123
|
0,87
|
|
Paha atas
|
Suhu kamar
|
52
|
52
|
0
|
Refrigerator
|
64,29
|
64,75
|
0,73
|
|
Paha bawah
|
Suhu kamar
|
42
|
40
|
-4,76
|
Refrigerator
|
46
|
45
|
-2,17
|
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pada setiap karkas / bagian
karkas berbeda antara yang satu dengan yang lainya. Bahkan antara
temperatur suhu kamar dan suhu refrigerator juga berbeda-beda. Hal
ini disebabkan karena banyakya kadar air yang terkandung didalamnya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Anonymous (1996), ytang menyatakan
bahwa suatu bahan pangan yang banyak mengandung air yang banyak
ataupun sedikit akan mengalami perbedaan berat bahan tersebut.
Antara daging yang disimpan disuhu kamar dan suhu refrigerator juga
bebeda dimana pada suhu refrigerator berat drippnya lebih banyak dari
pada disuhu kamar. Hal ini terjadi karena dalam suhu kamar bahan akan
kering karena adanya penguapan, sedangkan pada suhu refrigerator akan
terjadi pembekuan yang dapat menampung air. Hal ini sesuai dengan
pendapat Lawrie (1997), yang menyatakan bahwa pada ruangna terbuka
bahan akan mengalami perubahan yang berupa adanya penguaoan yang
dapat menyebabkan kekeringn pada bahan tersebut.
Pengawetan
Dengan Pengeringan
Hasil yang didapat dari praktikum pengawetan dengan pengeringan
yaitu sebagai berikut :
Tabel
10. Pengawetan Dengan Pengeringan
Perlakuan
Pengeringan
|
Kode
Sampel
|
Berat (gram)
|
Kadar
Air (%)
|
||
W
|
W1
|
W2
|
|||
Suhu 60o
C selama 36 jam
|
1
|
14,729
|
14,831
|
14,765
|
183,333
|
2
|
14,532
|
14,580
|
14,533
|
4700
|
|
3
|
14,950
|
15,000
|
14,969
|
163,158
|
|
Rataan
|
1682,164
|
||||
Suhu 40o
C selama 70 jam
|
1
|
11,835
|
11,894
|
11,881
|
28,261
|
2
|
11,460
|
11,546
|
11,533
|
17,808
|
|
3
|
11,113
|
11,231
|
11,207
|
25,532
|
|
Rataan
|
23,867
|
Setelah
daging ayam diolah menjadi dendeng, maka didapat hasil seperti tabel
diatas. Untuk mengukur kadar air yang terdapat pada daging ayam
olahan yaitu dengan suhu 600C
selama 36 jam dan suhu 40oC
selama 70 jam. Sesuai dengan pendapat Lawrie (1995) yang menyatakan
bahwa proses pengeringan dalam pembuatan dendeng ada dua cara,
pengeringan dengan sinar matahari dan pengeringan dengan oven yang
dapat dijamin hygienis, mutu, dan kekeringannya. Menurut Rasyaf
(1995) pembuatan dendeng ayam merupakan salah satu usaha pengawetan
daging. Daging yang dibuat dendeng, bisa diperoleh aroma lain dan
dendeng yang baik dapat disimpan sampai 60 hari.
Dari
diatas dapat dilihat bahwa pengeringan dendeng dengan menggunakan
suhu 600C
selama 36 jam kadar airnya lebih banyak dibandingkan dengan kadar air
pada pengeringan suhu 40oC
selama 70 jam. Hal ini bisa saja karena sampel untuk pengeringan suhu
60oC
lebih berat dan lebih tebal dibandingkan dengan sampel untuk
pengeringan suhu 40oC,
sehingga kandungan air pada sampel untuk pengeringan suhu 60oC
lebih banyak dan lebih lama keringnya dibandingkan dengan sampel suhu
40oC.
Dua macam metode pengeringan ini dilakukan untuk mengetahui
perbandingan kadar air dari masing-masing perlakuan. Menurut Rasyaf
(1996) untuk mempengaruhi tingkat kadar air yang perlu dikeluarkan
oleh arus udara panas ( yang digunakan dalam proses ), maka perlu
untuk mempunyai rasio permukaan : volume yang tinggi dalam daging,
oleh karena itu digunakan daging yang sudah dipotong-potong halus.
Pembuatan dendeng ini bertujuan untuk memperpanjang masa simpan
pangan ( mengontrol kadar air ) yang didalam prosesnya telah
ditambahkan garam. Garam ini bertujuan untuk mengurangi kadar air
pangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Murtidjo (1997) bahwa salah
satu metoda pengawetan pangan yaitu dengan cara menambahkan garam ke
berbagai macam makanan. Pengasapan dan pengeringan juga telah
dilakukan secara luas dalam kombinasinya dengan garam, terutama untuk
produk daging dan ikan. Menurut Buckle (1995) penambahan garam dalam
bahan pangan mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, jadi
mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme dengan suatu metoda yang
bebas dari pengaruh racun.
BAB
.V. PENUTUPAN
Kesimpulan
Dari pratikum Dasar Teknologi Hasil Ternak dapat disimpulkan bahwa
dalam pratikum ini berbagi macam jenis cara untuk pengawetan telah
dipelajari dengan baik, walupun belum sesempurna yang diharapakn
karena masih ada berbagi kecerobohan praktikan dalam pelaksaan
pratikum terutama kelompok B1. Terjadinya pratikum ulang
dikarenakan kurangnya rasa tanggung jawab selama berjalannya
pratikum.
Berbagai macam jenis pengawetan yang dapat dilakukan pada berbagi
jenis produk yang bertujuan untuk memperpanjang umur/masa simpan,
dapat meningkatkan nilai daya guna, memperluas jangkauan pemasaran
yang berkaitan dengan kendala wilayah dan waktu, dan dapat
meningkatkan keanekaragaman pangan hasil ternak. Yang melibatkan
panas, sehingga produk akan mengalami beberapa perubahan atau berbeda
sifatnya dengan asalnya.
Saran
Saran
yang diharapakan untuk kedepannya, terutama bagi para mahasiswa/I
atau praktikaan dalam pelaksaan pratikum atau selama melakukan
penelitian terhadap berbagai jenis produk hasil ternak yang akan
diamti untuk lebih ditingkatkan lagi keseriusan dalam pelaksanaan
partikum, agar mendapatkan hasil yang sempurna pula seperti yang
diharapkan karena apabila terjadi pratikum ulang seperti kelompok B1
akan membuang waktu saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Antonius Riyanto.2001. Kandungan Energi Dalam Telur. Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Anonymous.1996.
Hasil-hasil Olahan Dari Ternak. Penerbit Agritech, Yogyakarta.
Bambang, S .1997.
Pengawetan Bahan Pangan Hasil Ternak. PT Mutiara Sumber Widya
Penabur Benih Kecerdasan.
Buckle.1995.
Penambahan Garam Mempengaruhi Aktivitas Air Dalam Pangan.
Penerbit. GITA. PT Gallus Indonesia Utama.
Desrosier M.W.1997. Technology, Elements Of Technology. The
Avi Publishing Company. Inc Westport Connecticut.
Frazier W and DC Westhoff.1976. Food Microbiology. Third
Edition MC Graw Hill Book Co, New York.
Hamid, A.1975. Pit dan Pembususkan Daging. Fesis Fkit. IPB,
Bogor.
Handiwiyoto, Soeswodo.1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging
dan Telur. Liberty ,Yogyakarta.
Haryoto.1996. Evaluasi Kerusakan-kerusakan Pada Telur Unggas.
Penerbit Liberty ,Yogyakarta.
Lawrie .1997.
Berbagi Tehnik Dalam Proses Pengeringan Bahan Pangan. Penerbit
PT Gremedia Jakarta.
Marhijanto.1996. Kamus Poultry dan Pengawetannya. Penerbit
ITB, Bandung.
Muctadi, P.1987. Studies On, and Indonesia Traditional Product.
Nutrien and Effect by Biology. Forum Pascasarjana 2(10) : 1-10.
Fakultas Peternakan Unibraw, Malang.
Murtidjo .1997.
Tehnik Dalam Penambahan Garam Dalam Proses Pengawetan. Penerbit.
Universitas Indonesia Press.
Rasyaf Muh.1963. Egg Quality Current Problems and Evaluation Of
Egg Quality. Penerbit Fakultas Peternakan Unibraw, Malang.
Rammanof. 1963. Mendeteksi Ketahahan Kualitas Telur saat
Pengawetan. Penerbit Fakultas Peternakan Brawijaya, Malang.
Robert.1989. Evaluasi Gizi dan Kerusakan Bahan Pangan.
Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Soeparno.1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada
University ,Yogyakarta.
Wianrno.1982. Pencegahan Kerusakan Bahan Pangan. Pustaka
Media, Yoyakarta.
Winarno F,G.1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia : Jakarta
1993. Pangan Gizi Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia : Jakarta.
Wianrno F,G. S Fardias dan D Fardias.1980. Pengantar Teknologi
Pangan. PT Gramedia : Jakarta.
LAMPIRAN
Perhitungan Persentase Dripp (%)
Pada Pengawetan dengan Pembekuan
Rumus : % Driip =
- Sayap - Kanan = = 97,18 %
- Kiri = = 98,09
%
- Pgng - Kanan = = 98,4 %
- Kiri = = 97,64
%
- Dada - Kanan = = 99,01 %
- Kiri = = 98,38
%
- P.atas - Kanan = = 99,27 %
- Kiri = = 98,9
%
- P.bwh - Kanan = = 101,69 %
- Kiri = = 97,65
%
Perhitungan Kadar Air Pada
Pengawetan Dengan Pengeringan
Rumus : % Kadar Air =
Perlakuan suhu 60oc
Selama 36 jam
Diketahui : - w : 12,121
- w1 : 12,265
- w2 : 12,228
% Kadar Air = == 34,58 %
Perlakuan suhu 40oc
Selama 70 jam
Diketahui : - w : 11,693
- w1 : 11,890
- w2 : 11,927
% Kadar Air = == 15,81 %
Rataannya = 25,195 %
Langganan:
Postingan (Atom)